Pemberdayaan Sekolah
Sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa Melalui
Pendidikan Berbasis Kompetensi
Oleh:
Hari Suderadjat
A.
Latar
Belakang Masalah
Selama ini
praktisi pendidikan berpendapat bahwa pendidikan karakter atau ahlak mulia di
sekolah merupakan tugas guru agama (Pendidikan Agama Islam/PAI). Di luar guru PAI semuanya bertanggung jawab pada keilmuan, seperti
IPA, IPS, Bahasa dan sebagainya. Telah terjadi dikhotomi antara ilmu
dan agama, bahkan terjadi pemisahan antara materi keilmuan dengan nilai-nilai
keilmuan. Pendidikan fisika misalnya, hanya berorientasi pada materi keilmuan yaitu agar peserta didik memiliki ilmu fisika
(kognitif), tidak begitu peduli terhadap keterampilan peserta didik dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan (motorik), apalagi kebermanfaatan
konsep fisika dalam membangun lingkungan (afektif), yang merupakan pendidikan
karakter. SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) mendidik
lulusannya untuk menguasai teknik kejuruan, seperti mesin, listrik, elektronika, bangunan dsbnya, tetapi apakah aplikasi kejuruannya
dalam dunia kerja berlandaskan nilai-nilai ahlak mulia atau tidak, sepertinya tidak
menjadi tanggung jawab guru kejuruan. SMK saat ini
sudah jauh lebih baik, lulusannya bukan hanya menguasai teori melainkan juga
prakteknya di dunia kerja, namun pandangan bahwa pendidikan ahlak merupakan
tanggung jawab guru PAI, masih melekat
pada mayoritas guru-guru SMK.
Mengapa
demikian?
Pengaruh
paradigma positivist yang menyatakan
bahwa ilmu bebas nilai (value free)
berdampak pada pendidikan keilmuan yang tidak mengintegrasikan nilai, tidak aneh apabila ada praktisi hukum
(oknum) yang menggunakan hukum positif
tetapi tidak berdasarkan pada nilai-nilai keadilan sebagai nilai keilmuan hukum (disciplinary value).
Tidak aneh apabila ada praktisi pendidikan atau guru (oknum) membantu peserta
didiknya menyelesaikan soal-soal UN
(Ujian Nasional) melalui contek masal, yang berarti “mendidik ketidak jujuran” yang bertentangan dengan
nilai-nilai pendidikan, khususnya pendidikan yang memanusiakan manusia seutuhnya. Inilah gambaran pelaksanaan pendidikan yang berorientasi pada keilmuan
tetapi kehilangan nilai-nilai pendidikan atau nilai-nilai karakter. Bahkan
tidak sedikit guru agama Islam (oknum) yang mengajar ilmu Al Qur’an, ilmu
Hadist, ilmu Fiqih, ilmu Ahlak, ilmu Aqidah dan Keimanan dalam lingkup ilmu agama, tetapi tidak melatihkan peserta
didik berperilaku dengan nilai-nilai ahlak
mulia.
Pendidikan
seperti itu hanya akan menghasilkan SDM yang tidak berpribadi integral,
atau manusia munafik, calon pemimpin yang tidak memiliki
integritas kepemimpinan yang berdampak pada pembangunan bangsa dan negara dengan
1001 krisis. Banyak pemimpin nasional yang berpendapat
bahwa pendidikan merupakan sarana yang tepat bagi pencegahan korupsi, apakah
pendidikan yang berlandaskan paradigma positivist yang memisahkan ilmu dengan
sistem nilainya akan dapat membangun generasi anti korupsi? Pendidikan yang
bagaimanakah yang diyakini dapat membangun generasi anti korupsi? Inilah yang
harus dipikirkan oleh para pakar dan praktisi pendidikan di Indonesia.
B.
Reformasi
Pendidikan
Kurikulum
1975, 1984, 1994 dan 1999 merupakan kurikulum yang dikembangkan berdasarkan
materi pelajaran (mata pelajaran) yang dalam implementasinya cenderung berfokus
pada pengetahuan semata (kognitif).
Mungkin dalam pendidikan kejuruan orientasinya tidak hanya teori (kognitif) namun juga prakteknya (motorik) di dunia kerja. Namun keduanya
belum mengintegrasikan nilai dan sikap (afektif)
yang berorientasi pada perkembangan karakter.
Reformasi pendidikan melalui Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengubah Kurikulum
1994 yang berbasis
pengetahuan menjadi Kurikulum
2004 yang berbasis kompetensi (KBK) yang
kemudian disempurnakan pada tahun 2006
yang disebut dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Secara konsep pendidikan berbasis kompetensi
menghilangkan dikhotomi antara ilmu dan agama, dan mengubah pembelajaran yang hanya berorientasi pada pengetahuan yang
cenderung menghasilkan verbalisme, dogmatisme
dan pribadi lulusan yang terpecah (split
personality) menjadi lulusan yang berpribadi
integral.
Kompetensi
dalam KBK didefinisikan sebagai: keseluruhan
pengetahuan, nilai dan sikap, yang dapat direfleksikan dalam kebiasaan berpikir
dan bertindak. Definisi ini dapat kita yakini kebenarannya karena Allah Swt
berfirman: “Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. [Qs. Al
Baqarah (2): 208]. Allah Swt menghendaki umatNya menjadi muslim secara keseluruhan, baik
fisik (domain motorik) maupun mental (domain kognitif dan domain afektif).
Dengan demikian, berdasarkan ayat tadi pendidikan berbasis kompetensi dapat
diartikan sebagai proses memanusiakan manusia seutuhnya, yaitu lulusan yang memiliki ilmu pengetahuan (Head), yang
dapat digunakan dalam kehidupannya (berpikir, berucap dan bertindak/ Hand) dengan
nilai-nilai ahlak mulia (karakter/Heart). Kalau tidak menyeluruh maka mereka
dikategorikan sebagai pengikut syaitan?
Tetapi bagaimana implementasinya di sekolah dan madrasah?
Sudahkah
seluruh lembaga pendidikan melaksanakan pendidikan berbasis kompetensi yang
konsisten dengan konsep kompetensi dalam Kurikulum 2004? Pada tahun
2009 dan 2010 yang lalu Kemendikbud mempromosikan pendidikan karakter, bukankah
pendidikan berbasis kompetensi sudah merupakan pendidikan karakter?
Implementasi KBK yang dapat membangun SDM yang cerdas, kompetitif, produktif dan
berahlak mulia dapat diilustrasikan dalam gambar
berikut:
Gambar tersebut menjelaskan bahwa apabila kompetensi di
definisikan secara konsisten sebagai penguasaan
atau pemilikan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan dalam kehidupan berintikan
nilai-nilai ahlak mulia, maka implementasinya akan menghasilkan lulusan
sebagai sosok muttaqien (bertakwa) yang selalu mengikuti aturan Allah Swt
dan menghindari apa yang dilarang olehNya.
Pendidikan berbasis kompetensi berlandaskan pada paradigma post-positivist yang mengemukakan bahwa ilmu terikat nilai (value bound). Inilah konsep reformasi
pendidikan, namun sayangnya dalam implementasinya masih terpengaruh oleh
pendidikan yang berbasis materi pelajaran, sehingga saat ini terjadi pendidikan
berbasis materi pelajaran dalam “kemasan” pendidikan berbasis kompetensi.
C. Bagaimana
Pendidikan Berbasis Kompetensi Dapat Memberdayakan Sekolah Sebagai Pusat
Pembangunan Karakter bangsa?
Secara konsep pemberdayaan sekolah dimulai pada tahun
2003 dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas), khususnya melalui pasal 51 ayat (1) tentang
manajemen berbasis sekolah (MBS), yang merupakan perubahan dari manajemen
pendidikan yang sentralistik, yang terpusat di Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Jakarta, manjadi manajemen berbasis sekolah. Artinya sekolah dapat
mengembangkan kurikulumnya sendiri seperti yang ditetapkan pada pasal 38 ayat
(2) tentang KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), melaksanakan dan
mengevaluaiinya, yang tertera pada pasal-pasal lainnya. Tujuan sekolah harus berorientasi
pada Tujuan Pendidikan Nasional yang ditetapkan pada Pasal 3. Berdasarkan
pasal-pasal dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 tersebut idealnya sekolah dapat
menjadi Pusat Pembangunan Karakter Bangsa, khususnya bagi lingkungannya,
karena:
Pertama, apabila sekolah
diminta untuk melaksanakan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), maka sekolah dapat
mengelola semua komponen pendidikan yang dimilikinya, dalam arti bahwa sekolah dapat
melaksanakan manajemen mutu total (total
quality management). Dengan kata lain sekolah dapat melaksanakan manajemen
peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (MPMBS). Kunci keberhasilan MPMBS
bertumpu pada kepemimpinan Kepala Sekolah seperti yang dikemukakan Sallis
(1993) bahwa: “Kepemimpinan merupakan
tumpuan keberhasilan manajemen sekolah”. Pendapat Sallis ini dapat diyakini
kebenarannya karena rasulullah Muhammad Saw
bersabda: “...tunggulah kehancurannya
apabila salah menunjuk pemimpin...”. Demikian juga penunjukan Kepala
Sekolah, bila salah menunjuk dan menetapkan Kepala Sekolah tunggulah kehancuran
sekolah itu.
Bagaimana peran Kepala Sekolah sebagai pemimpin
pendidikan dalam menjadikan sekolah sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa?
Peran pemimpin yang sudah dikenal di masyarakat Indonesia adalah:
Ing ngarso sung
tulodo,
Ing madyo mangun karso
Tut wuri handayani
Seorang pemimpin harus berada di depan untuk memberikan
contoh, di tengah ia harus membangun prakarsa, dan di belakang harus mendorong lembaga
agar tetap maju. Peran yang pertama dan utama seorang pemimpin sekolah adalah
memberikan keteladanan kepada semua orang-orang yang ada di sekolah. Inilah
kepemimpinan yang dicontohkan oleh rasulullah Muhammad Saw,seperti firmanNya: “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah [Qs. Al Ahzab (33): 21] .
Kalau firman Allah Swt tertulis dalam Al Qur’an, maka
contoh orang yang bermoralkan Al Qur’an adalah Nabi Muhammad Saw yang siddiq, tabligh, amanah dan fatonah. Inilah sifat kepemimpinan kepala
sekolah sebagai “guru” yang dapat “digugu” dan “ditiru” oleh semua personil
sekolah dan khususnya oleh peserta didik.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat menjadikan
“pengikut”nya menjadi pemimpin-pemimpin. Memang pada hakekatnya semua orang
adalah pemimpin seperti sabda Rasulullah: “Sesungguhnya kalian semua adalah
pemimpin, yang akan diminta pertanggung jawabannya kelak”. Allah Swt
menciptakan manusia untuk menjadi pemimpin di muka bumi [Qs. Al Baqarah (2):
30].
Kepala sekolah adalah pemimpin pendidikan di sekolah,
semua staff dan guru juga merupakan pemimpin yang harus memberikan keteladanan
bagi semua peserta didik dan menjadikan peserta didik menjadi calon-calon
pemimpin bangsa di masa depan, paling tidak untuk menjadi pemimpin dirinya
sendiri untuk berperilaku dengan ahlak mulia.
Apabila hal ini terlaksana maka sekolah telah dapat
membangun budaya ahlak mulia dalam memberdayakan peserta didik bermoralkan Al
Qur’an. Ada peringatan yang difirmankan Allah Swt bahwa: “Hai orang-orang mukmin mengapa engkau berkata sesuatu yang tidak engkau
lakukan, kebencianku sangat besar kepada mereka yang berbicara sesuatu tetapi
ia sendiri tidak melakukannya ”[Qs. Ash Shaff (61): 2-3].
Peringatan ini tidak hanya bagi kepala sekolah melainkan
untuk semua guru dan staff sekolah, bahwa apa yang diperintahkan kepala
sekolah, yang diucapkan guru kepada peserta didik, yang disampaikan staff
sekolah kepada peserta didik harus dicontohkan oleh mereka yang menyampaikan
perintah. Kalau tidak, maka mereka akan mendapatkan kebencian dari Allah Swt,
padahal yang kita harapkan adalah keridhoanNya yang di dalamnya ada syurga.
Dengan kata lain apa yang disampaikan guru sebagai
nasihat kepada siswa dalam berperilaku ahlak mulia, harus dicontohkan oleh guru
tersebut, sesuai dengan kata-kata bijaksana: “Hai para guru janganlah engkau berharap peserta didikmu akan
berperilaku seperti yang engkau nasihatkan, karena mereka akan banyak
berperilaku seperti yang engkau contohkan”.
Kesimpulan yang pertama adalah kepala sekolah adalah
penanggungjawab pertama dan utama dalam membangun budaya ahlak mulia di
sekolah, melalui semua guru dan staff sekolah dan membangun kampus sekolah yang
Islami melalui semua komponen pendidikan yang dimiliki sekolah.
Kedua, kepala sekolah
harus dapat mengubah pola pemikiran guru-guru bahwa penanggung jawab pendidikan
karakter adalah guru PAI, melainkan semua guru yang melaksanakan kurikulum
berbasis kompetensi (KBK). Bahwa pendidikan berbasis kompetensi mengubah pola
pembelajaran yang menghasilkan lulusan yang
hanya menguasai konsep keilmuan (hanya satu domain yaitu kognitif)
menjadi lulusan yang memiliki kompetensi yang mengintegrasikan ketiga domain
(kognitif, motorik dan afektif). Bahwa pendidikan berbasis kompetensi
menghasilkan lulusan yang memiliki ilmu (kognitif), terampil menggunakan
ilmunya dalam kehidupan (motorik) dengan kebermanfaatan bagi lingkungannya
(nilai, afektif). Bukankah lulusan yang dapat menggunakan ilmunya dalam
kehidupan dengan penuh manfaat, mereka telah melakukan ibadah sosial (ibadah gho’ir mahdoh)? Bukankah guru yang
melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi menjadi guru ibadah? Contohnya, guru
Fisika dalam pendidikan berbasis kompetensi, memfasilitasi siswa untuk belajar
menguasai konsep-konsep Fisika, kemudian berdiskusi dan berlatih untuk
implementasinya dalam kehidupan yang bermanfaat bagi lingkungannya, artinya
bahwa siswa berlatih untuk beribadah sosial, sehingga guru Fisika melatih siswa
beribadah sosial, bukankah guru Fisika tersebut menjadi guru ibadah sosial?
Bukankah guru Fisika tersebut telah berperan menjadi guru agama, atau guru ahlak
atau guru budi pekerti?
Kalau semua guru melaksanakan kurikulum berbasis
kompetensi maka secara otomatis semua guru akan mendidik siswanya berahlak
mulia atau berkarakter, dan sekolah akan menjadi pusat pembangunan karakter
siswa yang merupakan anak bangsa. Dengan kata lain sekolah berperan menjadi
Pusat Pembangunan Karakter Bangsa, apabila semua guru dan staf merupakan
personal yang kompeten, dalam kepemimpinan kepala sekolah yang profesional.
Berdasarkan gambar, pendidikan berbasis kompetensi yang
dilaksanakan secara konsisten akan menghasilkan lulusan sebagai sosok muttaqien, yaitu yang patuh pada aturan
yang ditetapkan oleh Allah Swt, menghindarkan diri dari apa yang dilarang
olehNya serta selalu mengharap akan petunjukNya. Amin