Rabu, 20 Februari 2013

Buletin4


Pemberdayaan Sekolah
Sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa Melalui
Pendidikan Berbasis Kompetensi

Oleh: Hari Suderadjat

A.      Latar Belakang Masalah

Selama ini praktisi pendidikan berpendapat bahwa pendidikan karakter atau ahlak mulia di sekolah merupakan tugas guru agama (Pendidikan Agama Islam/PAI). Di luar guru PAI semuanya bertanggung jawab pada keilmuan, seperti IPA, IPS, Bahasa dan sebagainya. Telah terjadi dikhotomi antara ilmu dan agama, bahkan terjadi pemisahan antara materi keilmuan dengan nilai-nilai keilmuan. Pendidikan fisika misalnya, hanya berorientasi pada materi keilmuan yaitu agar peserta didik memiliki ilmu fisika (kognitif), tidak begitu peduli terhadap keterampilan peserta didik dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan (motorik), apalagi kebermanfaatan konsep fisika dalam membangun lingkungan (afektif), yang merupakan pendidikan karakter. SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) mendidik lulusannya untuk menguasai teknik kejuruan, seperti mesin, listrik, elektronika, bangunan dsbnya, tetapi apakah aplikasi kejuruannya dalam dunia kerja berlandaskan nilai-nilai ahlak mulia atau tidak, sepertinya tidak menjadi tanggung jawab guru kejuruan. SMK saat ini sudah jauh lebih baik, lulusannya bukan hanya menguasai teori melainkan juga prakteknya di dunia kerja, namun pandangan bahwa pendidikan ahlak merupakan tanggung jawab guru PAI, masih melekat pada mayoritas guru-guru SMK.

Mengapa demikian?
Pengaruh paradigma positivist yang menyatakan bahwa ilmu bebas nilai (value free) berdampak pada pendidikan keilmuan yang tidak mengintegrasikan nilai, tidak aneh apabila ada praktisi hukum (oknum) yang menggunakan hukum positif tetapi tidak berdasarkan pada nilai-nilai keadilan sebagai nilai keilmuan hukum (disciplinary value). Tidak aneh apabila ada praktisi pendidikan atau guru (oknum) membantu peserta didiknya menyelesaikan soal-soal UN (Ujian Nasional) melalui contek masal, yang berarti “mendidik ketidak jujuran” yang bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan, khususnya pendidikan yang memanusiakan manusia seutuhnya. Inilah gambaran pelaksanaan pendidikan yang berorientasi pada keilmuan tetapi kehilangan nilai-nilai pendidikan atau nilai-nilai karakter. Bahkan tidak sedikit guru agama Islam (oknum) yang mengajar ilmu Al Qur’an, ilmu Hadist, ilmu Fiqih, ilmu Ahlak, ilmu Aqidah dan Keimanan dalam lingkup ilmu agama, tetapi tidak melatihkan peserta didik berperilaku dengan nilai-nilai ahlak mulia.
Pendidikan seperti itu hanya akan menghasilkan SDM yang tidak berpribadi integral, atau manusia munafik, calon pemimpin yang tidak memiliki integritas kepemimpinan yang berdampak pada  pembangunan bangsa dan negara dengan 1001 krisis. Banyak pemimpin nasional yang berpendapat bahwa pendidikan merupakan sarana yang tepat bagi pencegahan korupsi, apakah pendidikan yang berlandaskan paradigma positivist yang memisahkan ilmu dengan sistem nilainya akan dapat membangun generasi anti korupsi? Pendidikan yang bagaimanakah yang diyakini dapat membangun generasi anti korupsi? Inilah yang harus dipikirkan oleh para pakar dan praktisi pendidikan di Indonesia.

B.      Reformasi Pendidikan
Kurikulum 1975, 1984, 1994 dan 1999 merupakan kurikulum yang dikembangkan berdasarkan materi pelajaran (mata pelajaran) yang dalam implementasinya cenderung berfokus pada pengetahuan semata (kognitif). Mungkin dalam pendidikan kejuruan orientasinya tidak hanya teori (kognitif) namun juga prakteknya (motorik) di dunia kerja. Namun keduanya belum mengintegrasikan nilai dan sikap (afektif) yang berorientasi pada perkembangan karakter.
Reformasi pendidikan melalui Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengubah Kurikulum 1994 yang berbasis pengetahuan menjadi Kurikulum 2004 yang berbasis kompetensi (KBK) yang kemudian disempurnakan pada tahun 2006 yang disebut dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Secara konsep pendidikan berbasis kompetensi menghilangkan dikhotomi antara ilmu dan agama, dan mengubah pembelajaran yang hanya berorientasi pada pengetahuan yang cenderung menghasilkan verbalisme, dogmatisme dan pribadi lulusan yang terpecah (split personality) menjadi lulusan yang berpribadi integral.
Kompetensi dalam KBK didefinisikan sebagai: keseluruhan pengetahuan, nilai dan sikap, yang dapat direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Definisi ini dapat kita yakini kebenarannya karena Allah Swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. [Qs. Al Baqarah (2): 208]. Allah Swt menghendaki umatNya menjadi muslim secara keseluruhan, baik fisik (domain motorik) maupun mental (domain kognitif dan domain afektif). Dengan demikian, berdasarkan ayat tadi pendidikan berbasis kompetensi dapat diartikan sebagai proses memanusiakan manusia seutuhnya, yaitu lulusan yang memiliki ilmu pengetahuan (Head), yang dapat digunakan dalam kehidupannya (berpikir, berucap dan bertindak/ Hand) dengan nilai-nilai ahlak mulia (karakter/Heart). Kalau tidak menyeluruh maka mereka dikategorikan sebagai pengikut syaitan?
Tetapi bagaimana implementasinya di sekolah dan madrasah? Sudahkah seluruh lembaga pendidikan melaksanakan pendidikan berbasis kompetensi yang konsisten dengan konsep kompetensi dalam Kurikulum 2004? Pada tahun 2009 dan 2010 yang lalu Kemendikbud mempromosikan pendidikan karakter, bukankah pendidikan berbasis kompetensi sudah merupakan pendidikan karakter?
Implementasi KBK yang dapat membangun SDM yang cerdas, kompetitif, produktif dan berahlak mulia dapat diilustrasikan dalam gambar berikut:



Gambar tersebut menjelaskan bahwa apabila kompetensi di definisikan secara konsisten sebagai penguasaan atau pemilikan ilmu pengetahuan yang dapat digunakan dalam kehidupan berintikan nilai-nilai ahlak mulia, maka implementasinya akan menghasilkan lulusan sebagai sosok muttaqien (bertakwa) yang selalu mengikuti aturan Allah Swt dan menghindari apa yang dilarang olehNya. Pendidikan berbasis kompetensi berlandaskan pada paradigma post-positivist yang mengemukakan bahwa ilmu terikat nilai (value bound). Inilah konsep reformasi pendidikan, namun sayangnya dalam implementasinya masih terpengaruh oleh pendidikan yang berbasis materi pelajaran, sehingga saat ini terjadi pendidikan berbasis materi pelajaran dalam “kemasan”  pendidikan berbasis kompetensi.    

C.  Bagaimana Pendidikan Berbasis Kompetensi Dapat Memberdayakan Sekolah Sebagai Pusat Pembangunan Karakter bangsa?

Secara konsep pemberdayaan sekolah dimulai pada tahun 2003 dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), khususnya melalui pasal 51 ayat (1) tentang manajemen berbasis sekolah (MBS), yang merupakan perubahan dari manajemen pendidikan yang sentralistik, yang terpusat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, manjadi manajemen berbasis sekolah. Artinya sekolah dapat mengembangkan kurikulumnya sendiri seperti yang ditetapkan pada pasal 38 ayat (2) tentang KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), melaksanakan dan mengevaluaiinya, yang tertera pada pasal-pasal lainnya. Tujuan sekolah harus berorientasi pada Tujuan Pendidikan Nasional yang ditetapkan pada Pasal 3. Berdasarkan pasal-pasal dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 tersebut idealnya sekolah dapat menjadi Pusat Pembangunan Karakter Bangsa, khususnya bagi lingkungannya, karena:
Pertama, apabila sekolah diminta untuk melaksanakan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), maka sekolah dapat mengelola semua komponen pendidikan yang dimilikinya, dalam arti bahwa sekolah dapat melaksanakan manajemen mutu total (total quality management). Dengan kata lain sekolah dapat melaksanakan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (MPMBS). Kunci keberhasilan MPMBS bertumpu pada kepemimpinan Kepala Sekolah seperti yang dikemukakan Sallis (1993) bahwa: “Kepemimpinan merupakan tumpuan keberhasilan manajemen sekolah”. Pendapat Sallis ini dapat diyakini kebenarannya karena rasulullah Muhammad Saw bersabda: “...tunggulah kehancurannya apabila salah menunjuk pemimpin...”. Demikian juga penunjukan Kepala Sekolah, bila salah menunjuk dan menetapkan Kepala Sekolah tunggulah kehancuran sekolah itu.
Bagaimana peran Kepala Sekolah sebagai pemimpin pendidikan dalam menjadikan sekolah sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa? Peran pemimpin yang sudah dikenal di masyarakat Indonesia adalah:
Ing ngarso sung tulodo,
       Ing madyo mangun karso
                       Tut wuri handayani
Seorang pemimpin harus berada di depan untuk memberikan contoh, di tengah ia harus membangun prakarsa, dan di belakang harus mendorong lembaga agar tetap maju. Peran yang pertama dan utama seorang pemimpin sekolah adalah memberikan keteladanan kepada semua orang-orang yang ada di sekolah. Inilah kepemimpinan yang dicontohkan oleh rasulullah Muhammad Saw,seperti firmanNya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah [Qs. Al Ahzab (33): 21] .
Kalau firman Allah Swt tertulis dalam Al Qur’an, maka contoh orang yang bermoralkan Al Qur’an adalah Nabi Muhammad Saw yang siddiq, tabligh, amanah dan fatonah. Inilah sifat kepemimpinan kepala sekolah sebagai “guru” yang dapat “digugu” dan “ditiru” oleh semua personil sekolah dan khususnya oleh peserta didik.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat menjadikan “pengikut”nya menjadi pemimpin-pemimpin. Memang pada hakekatnya semua orang adalah pemimpin seperti sabda Rasulullah: “Sesungguhnya kalian semua adalah pemimpin, yang akan diminta pertanggung jawabannya kelak”. Allah Swt menciptakan manusia untuk menjadi pemimpin di muka bumi [Qs. Al Baqarah (2): 30].
Kepala sekolah adalah pemimpin pendidikan di sekolah, semua staff dan guru juga merupakan pemimpin yang harus memberikan keteladanan bagi semua peserta didik dan menjadikan peserta didik menjadi calon-calon pemimpin bangsa di masa depan, paling tidak untuk menjadi pemimpin dirinya sendiri untuk berperilaku dengan ahlak mulia.
Apabila hal ini terlaksana maka sekolah telah dapat membangun budaya ahlak mulia dalam memberdayakan peserta didik bermoralkan Al Qur’an. Ada peringatan yang difirmankan Allah Swt bahwa: “Hai orang-orang mukmin mengapa engkau berkata sesuatu yang tidak engkau lakukan, kebencianku sangat besar kepada mereka yang berbicara sesuatu tetapi ia sendiri tidak melakukannya ”[Qs. Ash Shaff (61): 2-3].
Peringatan ini tidak hanya bagi kepala sekolah melainkan untuk semua guru dan staff sekolah, bahwa apa yang diperintahkan kepala sekolah, yang diucapkan guru kepada peserta didik, yang disampaikan staff sekolah kepada peserta didik harus dicontohkan oleh mereka yang menyampaikan perintah. Kalau tidak, maka mereka akan mendapatkan kebencian dari Allah Swt, padahal yang kita harapkan adalah keridhoanNya yang di dalamnya ada syurga.
Dengan kata lain apa yang disampaikan guru sebagai nasihat kepada siswa dalam berperilaku ahlak mulia, harus dicontohkan oleh guru tersebut, sesuai dengan kata-kata bijaksana: “Hai para guru janganlah engkau berharap peserta didikmu akan berperilaku seperti yang engkau nasihatkan, karena mereka akan banyak berperilaku seperti yang engkau contohkan”.
Kesimpulan yang pertama adalah kepala sekolah adalah penanggungjawab pertama dan utama dalam membangun budaya ahlak mulia di sekolah, melalui semua guru dan staff sekolah dan membangun kampus sekolah yang Islami melalui semua komponen pendidikan yang dimiliki sekolah.
Kedua, kepala sekolah harus dapat mengubah pola pemikiran guru-guru bahwa penanggung jawab pendidikan karakter adalah guru PAI, melainkan semua guru yang melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Bahwa pendidikan berbasis kompetensi mengubah pola pembelajaran yang menghasilkan lulusan yang  hanya menguasai konsep keilmuan (hanya satu domain yaitu kognitif) menjadi lulusan yang memiliki kompetensi yang mengintegrasikan ketiga domain (kognitif, motorik dan afektif). Bahwa pendidikan berbasis kompetensi menghasilkan lulusan yang memiliki ilmu (kognitif), terampil menggunakan ilmunya dalam kehidupan (motorik) dengan kebermanfaatan bagi lingkungannya (nilai, afektif). Bukankah lulusan yang dapat menggunakan ilmunya dalam kehidupan dengan penuh manfaat, mereka telah melakukan ibadah sosial (ibadah gho’ir mahdoh)? Bukankah guru yang melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi menjadi guru ibadah? Contohnya, guru Fisika dalam pendidikan berbasis kompetensi, memfasilitasi siswa untuk belajar menguasai konsep-konsep Fisika, kemudian berdiskusi dan berlatih untuk implementasinya dalam kehidupan yang bermanfaat bagi lingkungannya, artinya bahwa siswa berlatih untuk beribadah sosial, sehingga guru Fisika melatih siswa beribadah sosial, bukankah guru Fisika tersebut menjadi guru ibadah sosial? Bukankah guru Fisika tersebut telah berperan menjadi guru agama, atau guru ahlak atau guru budi pekerti?  
Kalau semua guru melaksanakan kurikulum berbasis kompetensi maka secara otomatis semua guru akan mendidik siswanya berahlak mulia atau berkarakter, dan sekolah akan menjadi pusat pembangunan karakter siswa yang merupakan anak bangsa. Dengan kata lain sekolah berperan menjadi Pusat Pembangunan Karakter Bangsa, apabila semua guru dan staf merupakan personal yang kompeten, dalam kepemimpinan kepala sekolah yang profesional.
Berdasarkan gambar, pendidikan berbasis kompetensi yang dilaksanakan secara konsisten akan menghasilkan lulusan sebagai sosok muttaqien, yaitu yang patuh pada aturan yang ditetapkan oleh Allah Swt, menghindarkan diri dari apa yang dilarang olehNya serta selalu mengharap akan petunjukNya. Amin








0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com