Jumat, 25 November 2016

Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Kompetensi Bertema Ibadah (Membangun Generasi Khalifah Yang Abdullah)



                 Bab 2
Guru Pendidikan Agama Islam (PAI)
Memberdayakan Sekolah
Sebagai
Pusat Pembangunan Karakter Bangsa

Secara ideal, sekolah seharusnya berperan sebagai Pusat Pembangunan Masyarakat (Sosial Development Center) seperti yang telah dilaksanakan sebelumnya oleh Pesantren di Indonesia. Namun peran ideal dari sekolah seperti itu, hingga sekarang, dalam era desentralisasi manajemen pendidikan, masih merupakan suatu harapan, belum terlaksana. Mengapa? Mungkin karena Pemerintah belum mau melepaskan proses pengembangan kurikulum, yang seharusnya dilakukan oleh guru di sekolah, hingga saat ini masih terpusat? Apakah desentralisasi manajemen pendidikan dengan prinsip MBS telah terlaksana secara konsisten?
Namun kesadaran akan fakta-fakta empiris bahwa peningkatan mutu pendidikan terjadi di sekolah, yang dilaksanakan oleh guru profesional, maka MBS harus terlaksana. Dimulai dengan proses pengembangan kurikulum sekolah (KTSP) yang ditetapkan pada pasal 38 ayat (2), harus dilakukan oleh guru-guru. Dengan demikian guru-guru dapat menetapkan  tujuan, materi, proses dan evaluasi pembelajaran sesuai tuntutan masyarakat, sehingga sekolah dapat berperan sebagai Pusat Pembangun Masyarakat, khususnya sebagai Pusat Pembangunan Karakter Bangsa yang merupakan pondasi Pembangunan Nasional.
Siapa yang harus berperan dalam memberdayakan sekolah sebagai Pusat Pembangun Karakter Bangsa? Jawabannya adalah guru-guru dalam koordinasi kepala sekolah. Artinya semua guru-guru disekolah harus dapat melaksanakan pendidikan berkarakter.
Selama ini guru-guru umum dan kejuruan merasa bahwa tanggung jawabnya adalah membangun keilmuan dan kejuruan siswa-siswanya, sedangkan pendidikan karakter adalah tanggung jawab guru PAI. Pandangan inilah yang harus diubah, karena dalam era kurikulum berbasis kompetensi, semua guru adalah pendidik karakter dalam ilmu dan kejuruan yang diampunya.
Pendidikan Berbasis Kompetensi harus dapat membangun lulusannya dengan cerdas, kompetitif, produktif dan berkarakter.  Dalam hal ini peran guru PAI menjadi kunci, yaitu mengubah peran guru-guru umum dan guru-guru kejuruan menjadi guru ibadah dalam bidang keilmuannya dan kejuruannya masing-masing.


2.1   Peran Guru PAI Sebagai Pewaris Rasul Muhammad Saw, Menyempurnakan  
        Akhlak
Guru adalah sosok orang yang berilmu sehingga dapat disebut sosok “ulama”. Guru adalah pendidik yang segala ucapannya layak untuk “digugu” dalam arti dipatuhi oleh peserta didik dan diikuti oleh masyarakat lingkungannya dan perilakunya patut “ditiru”. Guru merupakan pemimpin informal di sekolah/madrasah dan juga di masyarakat sebagai sosok “teladan”.
Kepada siapa para Guru harus berguru? Siapa sosok teladan yang harus  diteladani Guru? Allah Swt berfirman, yang artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzab(33): 21].
Artinya bahwa sungguh banyak contoh-contoh yang baik pada diri Rasulullah Muhammad Saw yang harus ditiru oleh umatnya. Apa yang diucapkan Rasul harus digugu dan segala perilaku Rasul harus ditiru oleh umatnya, maka Rasulullah merupakan “Guru” bagi umatnya dan khususnya bagi Guru-Guru. Mengapa? Karena Guru sebagai ulama merupakan pewaris Nabi, pewaris Rasulullah Muhammad Saw, yang harus melanjutkan tugas-tugas Rasul. Apa sebenarnya tugas utama Rasulullah Muhammad Saw?
Rasulullah Muhammad Saw bersabda, yang artinya : ”Sesungguhnya aku di utus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (H.R. Muslim dan ahmad)
Oleh karena itu Guru sebagai “ulama pewaris Nabi” harus melanjutkan perjuangan Nabi yaitu menyempurnakan akhlak bangsa, khususnya akhlak generasi muda.
Artinya, semua Guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik, harus dapat membangun karakter peserta didik. Padahal pada saat ini ada pemahaman bahwa Guru yang bertanggung jawab dalam membangun karakter atau akhlak mulia peserta didik hanyalah Guru PAI (Pendidikan Agama Islam).

2.2  Guru adalah Pendidik Pembangun Karakter Generasi Muda
Mengapa semua Guru harus menjadi pendidik karakter? Karena Allah Swt berfirman, yang artinya : ”Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada Ku”. [QS.Adz-Dzariyat(51): 56]
Berdasarkan ayat ini, tugas Guru di lembaga pendidikan dasar dan menengah adalah membangun mereka menjadi “abdi Allah” atau hamba Allah Swt, bukan menjadikan lulusan menjadi “calon-calon ahli dalam suatu disiplin ilmu” tertentu, melainkan membangun mereka menjadi “ahli ibadah”.
Bagaimana profil seorang hamba Allah, lulusan pendidikan dasar dan menengah? Sosok hamba Allah yang Rahman (ibadurrahman) digambarkan dalam firmanNya sebagai seorang yang rendah hati, tidak sombong, suka shalat malam, tidak boros dan tidak kikir, tidak menyeketukan Allah, tidak membunuh, tidak berzina, kalau berbuat kesalahan cepat bertobat, tidak bersumpah palsu, sensitif terhadap bila diperingati dengan firmanNya, selalu berdo’a, sabar, sehingga mendapatkan hadiah syurga [Qs Al Furqon (23): 63-74]. Bukankah seorang ahli ibadah berakhlak mulia? Atau berkarakter?
Bagaimana caranya agar semua Guru menjadi pendidik karakter? Pada saat ini kita mengenal Guru Fisika, Guru Matematika, Guru Agama Islam, Guru Bahasa, Guru IPS dsbnya. Bagaimana caranya agar Guru-Guru tersebut dapat menjadikan lulusan dari sekolahnya menjadi hamba Allah yang Rahman (abdullah/abdurrahman) yang berakhlak mulia?
Reformasi pendidikan yang dirumuskan dalam Undang-undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas Tahun 2003) mengubah Kurikulum Mata Pelajaran (Subject-matter Curriculum) yang bertujuan menyiapkan lulusan sebagai calon ilmuwan, menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Competence-based Curriculum) atau KBK yang bertujuan membangun lulusan memiliki kompetensi.
Apa arti kompetensi?  
Kompetensi adalah keseluruhan pengetahuan, nilai dan sikap, yang dapat direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Atau kompetensi adalah keseluruhan ilmu atau knowledge (kognitif), iman atau attitude (afektif) dan amal atau skill (motorik). Pendidikan berbasis kompetensi pada jenjang pendidikan dasar dan menengah bertujuan membangun manusia seutuhnya, manusia yang berpribadi integral (integrated personality). Pendidikan berbasis kompetensi membangun manusia untuk memiliki ilmu yang ada di kepalanya (Head), membangun sistem nilai yang ada di hatinya (Heart), baik nilai-nilai sosial maupun nilai-nilai spiritual, dan juga meningkatkan kecakapan fisiknya (Hand). Pendidikan berbasis kompetensi membangun lulusan sebagai sosok yang satu kesatuan antara niat, ucapan dan perbuatan, bukan manusia munafik pengikut jalan syetan, sesuai firmanNya, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.[Qs Al Baqarah (2): 208]
Ayat ini merupakan landasan teologis KBK atau pendidikan berbasis kompetensi yang bertujuan membangun manusia seutuhnya, sebagai sosok muslim yang menyeluruh (kaaffah), yaitu keseluruhan dari ucapannya (ilmu/kognitif) nilai dan sikapnya (iman/afektif) serta perbuatannya (amal/motorik).
Contohnya seorang Guru fisika di SMA harus dapat membelajarkan peserta didiknya untuk dapat memiliki ilmu fisika (Kompetensi inti-3) yang dapat dia gunakan dalam kehidupan (kompetensi inti-4) dengan penuh manfaat bagi masyarakat dan dirinya (kompetensi inti-2) berdasarkan nilai-nilai keimanannya kepada Allah Swt (Kompetensi inti-1). Dengan demikian, bukankah peserta didik tersebut melakukan amal saleh atau beribadah dengan menggunakan ilmu fisika? Bukankah peserta didik tersebut belajar dan berlatih untuk berakhlak mulia ?
Bukankah Guru fisika tersebut telah membelajarkan peserta didik untuk menjadi ahli ibadah yang berkarakter ?. Maka Guru fisika tersebut telah membelajarkan peserta didik untuk menjadi ahli ibadah yang berkarakter? Maka Guru fisika dalam pendidikan berbasis kompetensi dapat disebut sebagai:
Guru ibadah spesialis ilmu fisika ?
Guru agama spesialis ilmu fisika ?
Guru fisika pendidik karakter ?
Guru karakter spesialis fisika ?
Apapun istilahnya, Guru fisika tersebut telah menjadi Guru pendidik pembangun karakter bangsa khususnya generasi muda, dengan menggunakan Ilmu Fisika.
Demikian juga Guru-Guru kejuruan di SMK diharapkan dapat mengubah tujuannya dari yang menjadikan lulusan SMK sebagai teknisi menjadi seorang yang “Ahli Ibadah”.
Dengan melaksanakan pendidikan berbasis kompetensi seorang Guru otomotif di SMK akan membelajarkan peserta didiknya memiliki teknik otomotif (kompetensi inti-3), dapat menggunakannya dalam pekerjaan (kompetensi inti-4) dengan penuh manfaat bagi masyarakat pelanggannya (kompetensi inti-2) berdasarkan nilai-nilai keimanan kepada Allah Swt (kompetensi inti-1).
Dengan demikian bukankah Guru otomotif tersebut telah membangun lulusan SMK sebagai ahli ibadah yang berkarakter ? Maka Guru kejuruan di SMK pun merupakan pendidik pembangun karakter bangsa.
Guru PAI saat ini adalah Guru mata pelajaran Al Qur’an–Hadits, Tarikh dan SKI (Sejarah Kebudayaan Islam), Aqidah dan Keimanan, Fiqih-Ibadah dan mata pelajaran Akhlak. Pola pembelajaran berbasis mata pelajaran atau subject matter (materi pelajaran) cenderung menghasilkan lulusan yang hanya hafal pengetahuan, belum mampu mengamalkan pengetahuannya dalam kehidupan dengan shaleh.
Dalam konteks pendidikan berbasis kompetensi, kita bertanya kemampuan apa yang harus dimiliki oleh lulusan sekolah setelah belajar PAI? Allah SWT berfirman, yang artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”. [Qs Adz Dzariyat (51):56].
Oleh karena itu, kemampuan yang harus diperoleh lulusan pendidikan dasar dan menengah sebagai hasil pembelajaran PAI adalah kemampuan ibadah. Dengan demikian PAI yang Berbasis Kompetensi Bertema Ibadah akan bertujuan membangun akhlak mulia.
Bagaimana mengintegrasikan kelima mata pelajaran yang ada sekarang menjadi Tema Ibadah, dapat digambarkan dalam bagan berikut:
Gambar 2.1: PAI Berbasis Kompetensi Bertema Ibadah
Berdasarkan gambar tersebut, maka kompetensi ibadah - misalnya Shalat -  dapat dirumuskan sebagai:
  • Pemilikan ilmu tentang ibadah shalat yang diambil dari Al-Qur’an-Hadits, Fiqih dan Tarikh, (Kognitif)
  • Dapat mengerjakan shalat dengan khusyu, berdasarkan nilai-nilai keimanan, (Afektif) dan
  • Dapat mengimplementasikan nilai-nilai shalat dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak mulia (Motorik)
Hasilnya adalah Muslim yang Kaaffah [Qs.Al-Baqarah(2): 208]
Karena dalam pembelajaran shalat: 1) Siswa berlatih shalat dengan khusyu, artinya siswa memahami arti dari apa yang diikrarkannya dalam shalat, diyakininya dalam hati, dan kemudian dilatihkan dalam amalan, kegiatan sehari-hari, sehingga 2) Siswa tersebut belajar mendirikan shalat, yang akan menghasilkan perilaku akhlak mulia dengan tidak berbuat keji antar manusia dan ingkar dari aturan Allah. [Qs Al- Ankabut (29): 45].



2.3 Bagaimana Rasulullah Muhammad Saw Membangun Akhlak Mulia (Karakter)
      Umatnya?
Rasulullah Saw memerintahkan umatnya untuk mendidik anak-anak shalat sejak usia 7 Tahun. Mengapa shalat begitu penting? Rasulullah Saw bersabda, yang artinya : ”Yang pertama kali ditanya kepada seorang hamba pada hari kiamat adalah perhatian kepada shalatnya. Jika shalatnya baik, dia akan beruntung. Dan jika shalatnya rusak, dia akan gagal dan merugi. (HR Tabrani, Tirmidzi dan An Nasa-i)
Kesimpulan dari hadits tersebut adalah bahwa shalat yang baik adalah shalat yang bermanfaat bagi diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Shalat yang baik, juga akan bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya, karena shalat yang didirikan harus ditindak lanjuti dengan perilaku akhlak mulia, yaitu tidak berbuat keji dan tidak ingkar pada perintah Allah Swt, sesuai firmanNya, yang artinya : “Bacalah kitab (Al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan mengingat Allah (shalat) itu lebih besar keutamaannya. Dan  Allah mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. [Qs. Al-Ankabut (29): 45).
Bagaimana cara mendirikan shalat, atau melaksanakan shalat dengan baik dan benar itu? Rasulullah Saw bersabda, yang artinya : “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.R. Bukhari).
Kita harus mempelajari bagaimana Rasulullah Muhammad Saw shalat, mulai dari gerakan, ucapan, pemahaman akan apa-apa yang diucapkan dalam shalat untuk diyakinkan dalam hati, dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak mulia, yang berdampak rahmatan lil’alamin.
Kita harus mempelajari shalat Rasul secara komprehensif, karena shalat merupakan tiang agama. Apabila “shalatnya tegak berdiri, maka tegaklah agamanya, apabila shalatnya runtuh, runtuhlah agamanya”. Artinya apabila setiap umat muslim di Indonesia “mendirikan shalat”, tidak hanya melakukannya, maka akan terbangun karakter (akhlak mulia) bangsa, yang akan menjadi pondasi bagi pembangunan ekonomi  nasional yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat.  
Ibadah shalat yang merupakan ibadah yang utama dan pertama kali dihisab pada hari perhitungan, dapat dijadikan pembelajaran PAI berbasis kompetensi bertema ibadah bertujuan membangun karakter (akhlak mulia) generasi muda, dan menghilangkan pemeo STMJ yaitu shalat terus maksiat jalan. Dengan demikian sesuai dengan perintah Rasulullah Saw didiklah siswa SD dengan kemampuan shalat khusyu’. Mengapa harus belajar shalat khusyu’?
Karena dengan shalat khusyu, Allah Swt berjanji akan memasukkan orang-orang mukmin kedalam kelompok orang yang beruntung sesuai firmanNya, yang artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya” [Qs Al Mu’minun (23): 1-2]
Bagaimanakah shalat yang khusyu’ itu?
Pertama,shalat yang khusyu’ adalah shalat yang dilakukan dengan penuh konsentrasi.
Dalam bahasa Indonesia khusyu’ adalah konsentrasi, maka shalat yang khusyu’ adalah shalat yang dilakukan dengan penuh konsentrasi. Semua indra difokuskan hanya kepada Allah Swt yang merupakan satu-satunya tuhan yang wajib dan berhak disembah oleh manusia. Demikian juga pikiran, hati dan fisik jasmaniah, hanya ditujukan pada Allah Swt, oleh karena itu apa yang diucapkan dalam shalat harus difahami, dimengerti dan diyakini oleh hati, meskipun ducapkan dalam bahasa Arab. Belajar shalat khusyu’ merupakan pendidikan yang pertama dan utama dalam kehidupan.
Shalat yang khusyu’ adalah shalat yang dilakukan dengan konsentrasi dan ditindaklanjuti dengan perilaku ahlak mulia, sesuai dengan firmanNya, yang artinya : “dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna” [Qs Al Mu’minun (23): 3].
Setelah shalat khusyu’, siswa SD (anak usia 7 tahun) harus dilatih untuk tidak berbuat yang sia-sia atau tidak berguna. Dengan kata lain mereka dilatih untuk berperilaku atau berkarakter baik. Mereka juga dilatih untuk senang memberi, khususnya kepada kaum dhu’afa, dengan berzakat sesuai firmanNya, yang artinya : ”dan orang-orang yang menunaikan zakat” [Qs Al Mu’minun (23): 4].

Berilah pemahaman bahwa berzina dan LGBT merupakan perbuatan yang melampaui batas, melanggar larangan Allah Swt dan merupakan perbuatan dosa besar,  sesuai dengan firmanNya, yang artinya:  dan orang-orang yang menjaga kemaluannya “ [Qs Al Mu’minun (23): 5]

Mereka juga harus dilatih untuk “amanah” dan menepati janji-janji, karena janji adalah “hutang”, sesuai dengan firmanNya, yang artinya : “dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”  [Qs Al Mu’minun (23): 8].

Mereka harus dilatih untuk belajar “memelihara shalat”nya. Apa maksudnya? Mereka berlatih mengamalkan semua ucapannya dalam shalatnya, sesuai dengan firmanNya, yang artinya : “dan orang-orang yang memelihara shalatnya” [Qs Al Mu’minun (23): 9].
Inilah yang disebut dengan belajar “mendirikan shalat”, yaitu belajar shalat dengan khusyu’ dan berlatih mengamalkannya dalam kehidupan dalam bentuk akhlak mulia, yang dijanjikan Allah Swt untuk menjadi pewaris syurga firdaus dan kekal di dalamnya, sesuai dengan firmanNya, yang artinya : “mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi,(yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya” [Qs Al Mu’minun (23): 10-11].
Surat Al Mu’minun (23) ayat 1 s/d 11 merupakan penjelasan dari surat Al Ankabut (29) ayat 45, bahwa perintah menegakkan shalat itu ditindak lanjuti dengan perilaku kita sehari-hari dalam kehidupan yaitu tidak boleh berbuat keji dan mungkar.
Dapat kita simpulkan bahwa:
Pertama, shalat khusyu’ adalah shalat yang dilaksanakan dengan penuh konsentrasi, berpusat pada penyembahan dan pengabdian manusia sebagai mahlukNya kepada Allah Swt, dengan melibatkan jiwa dan raga secara totalitas (integral) dan kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk ahlak mulia.
Kedua, melaksanakan shalat dengan khusyu’ dapat disebut juga sebagai mendirikan shalat, karena mereka yang mendirikan shalat adalah mereka yang mengerjakan shalat dan sesudah shalat harus ditindak lanjuti dengan pelaksanaannya dalam kehidupan yaitu menahan diri untuk tidak berbuat keji serta tidak berbuat yang dilarang oleh Allah Swt (mungkar), sesuai dengan firmanNya dalam Qs Al Ankabut (29): 45. Ayat ini menegaskan bahwa mendirikan shalat terkait langsung dengan perilaku ahlak mulia. Orang mendirikan shalat adalah mereka yang melaksanakan shalat dengan khusyu’ dan memelihara shalatnya dalam kehidupan dalam bentuk perilaku akhlak mulia.
Ketiga, bukankah mendidik siswa shalat dengan berpedoman pada Al Qur’an [Qs Al Mu’minun (23) : 1 – 11] merupakan pendidikan berbasis kompetensi yang meng Integrasikan ilmu, iman dan amal ?

 2.4  Pola Pendidikan Sunda Berdimensi Karakter
Di wilayah Priangan ada istilah “Jalmi masagi” atau “Jalmi pasagi”, yaitu orang – orang  lega elmuna jeung gede amalna”. Jalmi masagi dapat diartikan orang yang memiliki ilmu yang luas dan banyak amalnya. “Amal” di wilayah priangan memiliki konotasi, arti yang tersirat di dalamnya bahwa perbuatannya itu ikhlas dilakukan semata – mata sebagai pengabdiannya kepada Allah Swt. Dengan demikian “Jalmi masagi” atau “Jalmi pasagi” adalah orang yang banyak ilmunya dan digunakannya dalam kehidupan sehari hari dengan Ikhlas.
Jalmi masagi adalah sosok manusia yang berpribadi integral yang memiliki ilmu (knowledge), digunakannya dalam kehidupan (skill) dengan ikhlas (attitude).
Dipandang dari sudut pendidikan maka “Jalmi masagi” atau “Jalmi pasagi“ adalah profil hasil pendidikan seutuhnya yang mengintergrasikan ketiga domain pendidikan, yaitu domain kognitif (Ilmu) domain motorik (aplikasi ilmu dalam kehidupan) dan domain afektif (nilai ikhlas).
Masagi atau pasagi secara kongkrit adalah bentuk balok atau kubus yang memiliki tiga dimensi, yaitu panjang , lebar dan tinggi. Maka apabila kita analogikan panjang (p) menjadi domain kognitif, dimensi lebar (l) menjadi domain motorik, dan dimensi tinggi (t) menjadi domain afektif maka jalmi masagi dapat digambarkan sebagai sosok yang memiliki kemampuan untuk memperoleh isi sebagai hasil perkalian p x l x t. Dengan kata lain “jalmi masagi” akan memperoleh sebanyk volume atau isi dari hasil ilmu (p) yang diamalkan (l) dalam iman kepadaNya (t), yaitu rizki yang barokah (halal dan bermanfaat). Maka lebih banyak ilmunya akan makin besar rizkinya. Demikian juga makin besar amalnya akan makin besar rizkinya dan makin besar atau makin tinggi tingkat ke-ikhlasannya akan makin besar balasannya (pahalanya) dari Allah Swt, aamiin Yaa Robbil Alamin.
Analisis “Jalmi Masagi
Konsep pendidikan masyarakat Sunda yang bertujuan membangun “orang-orang yang luas ilmu nya dan ilmunya tersebut digunakan dalam kehidupan dengan ikhlas (amal salih)” merupakan nilai budaya luhur pendidikan Sunda. Atau dapat disebut sebagai konsep “atikan Sunda” (konsep pendidikan Sunda).
Mengapa menggunakan istilah “lega elmuna” (luas ilmu nya) ?
Istilah luas memiliki dimensi panjang dan dimensi lebar. Luas adalah panjang (p) kali lebar (l). Apabila dimensi panjang dianalogikan sebagai domain kognitif (ilmu) dan dimensi lebar dianalogikan sebagai metode atau proses, maka dapat diartikan seorang “Jalmi masagi” memiliki ilmu yang luas karena ia berusaha menguasai dan memiliki ilmu, melalui self learning.
Karena secara teologis prinsip penguasaan dan pemilikan ilmu berdasarkan pada firman Allah Swt yang artinya : “tiada seseorang memperoleh sesuatu kecuali apa yang diupayakannya (sendiri)” [Qs An Najm (53): 39].
Jadi “Jalmi masagi” belajar sendiri menguasai dan memiliki ilmu dengan aktif, dan dikenal di Pesantren dengan “metode Sorogan” yaitu santri mempelajari bahan ajar yang ingin dikuasainya, dan kemudian di evaluasi kebenaran hasilnya bersama Kiyai atau Ustadz nya. Metode Sorogan menggambarkan betapa tingginya budaya Pesantren dalam dunia pendidikan, karena sebenarnya “ilmu tidak dapat di transfer”. Artinya Ilmu (konsep – konsep ilmu) yang dimiliki seorang Guru tidak dapat ditransfer dari “kepala” Guru kepada “kepala” siswa.
Dengan demikian metode sorogan termasuk pada pemahaman para konstruktivis, yaitu konsep – konsep keilmuan (scientific knowledge) hanya dapat dimiliki siswa dengan self learning (belajar sendiri), self exploration (belajar dengan mengeksplorasi) dan self evalution (belajar mengevaluasi keberhasilan belajar oleh diri sendiri) dan apabila yakin telah memperoleh sesuatu, barulah dikonfirmasikan kepada guru nya, melalui “sorogan”. Dengan belajar aktif melalui “Sorogan” para santri akan memiliki ilmu yang luas.
Pola belajar dengan metoda ilmiah, ada dalam Al Quran [Qs Al Alaq (96): 3 - 5], rupanya para Kiyai zaman dahulu telah menggunakannya.
Pemilikan Ilmu yang luas tidak akan ada mantaatnya tanpa diamalkan dalam kehidupan berdasarkan nilai – nilai keimanan. Oleh karena itu para Kiyai Pesantren di tatar Pasundan mengarahkan para santrinya kepada “jalmi masagi”. Mengapa ?
Karena yang dapat menghindarkan diri seseorang dari azab nereka adalah “amal salih” yaitu perbuatan yang berisikan nilai – nilai keimanan yang merupakan pengabdian dirinya kepada Allah Swt [Qs. Adz Zariyat (51) : 56]. Seperti firmanNya, yang artinya : “Sungguh telah Aku ciptakan manusia dengan bentuk yang sempurna. Selanjutnya Aku masukkan semuanya ke tempat yang paling rendah (neraka). Kecuali orang – orang yang beriman dan beramal salih kepadanya diberikan pahala yang terus menerus “ [Qs At Tin (95): 4-6]
Rentetan ayat tersebut merupakan salah satu firmanNya yang menekankan pada perbuatan yang dilandasi oleh nilai iman (amal salih) atau akhlak mulia. Ilmu yang banyak dan digunakan dalam kehidupan dengan ikhlas, akan berdampak pada penyebaran rahmatan lil alamin. Maka kepada mereka Allah Swt berjanji akan meningkatkan derajatnya [Qs Al Mujaadillah (58): 11]
Pola pendidikan yang membangun lulusan yang “masagi” adalah pola pendidikan “Ar Rafi” yang telah diimplementasikan di Perguruan Ar Rafi Bandung sejak Tahun 2004. Bukankah “Atikan Sunda” (pendidikan Sunda) yang bertujuan membangun “jalmi masagi” merupakan pola pendidikan untuk membangun manusia “unggul” ?
Bukankah pola pendidikan berbasis kompetensi bertujuan memberdayakan lulusan yang dijanjikan Allah SWT untuk menjadi manusia yang diunggulkan ?

2.5 Pendidikan Karakter Di Indonesia
2.5.1  Pengertian Karakter
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta mendefinisikan karakter sbb:
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. (Kemendiknas, Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2009)
Dengan demikian karakter seseorang merupakan perilaku orang tersebut dalam berpikir, berbicara, bersikap dan bertindak, yang dilandasi oleh nilai-nilai yang ada dalam sistem nilainya (value system), baik nilai personal, nilai sosial maupun nilai-nilai ketuhanan.
Ditinjau dari sudut performansi (unjuk kerja), baik verbal performance, attitudinal performance dan physical performance, maka karakter dapat di definisikan secara sederhana sebagai cara berpikir dan berbicara, bersikap dan bertindak berdasarkan sistem nilai yang dimilikinya. Dengan demikian karakter dapat disamakan dengan ahlak mulia, perbedaannya terletak pada perjanjian si pelaku dengan tuhannya. Ahlak mulia merupakan karakter yang baik dari umat muslim, karena ia punya perjanjian (aqidah) dengan Allah Swt Sang Pencipta (Holik). Nilai-nilai personal dan sosial dan spiritual umat muslim dilandasi oleh nilai-nilai keimanannya kepada Allah Swt. Sedangkan karakter yang baik berlandaskan kepada nilai-nilai personal, sosial dan spiritual yang bersifat universal.
Implementasi pembelajaran yang mencerdaskan emosional-spiritual pada umumnya merupakan pelatihan untuk membiasakan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, sehingga selalu terkait dengan kecerdasan kinestetis (perbuatan). Artinya kecakapan bersikap yang dilandasi oleh nilai-nilai ketuhanan lebih mudah dijelaskan dalam suatu tindakan atau perbuatan (motorik), yang di dalam masyarakat muslim dikenal dengan istilah amal salih. Amal adalah perbuatan atau tindakan, sedangkan salih adalah nilai dan sikap orang yang berbuat amal tersebut, yaitu nilai-nilai keikhlasan. Dengan kata lain, perbuatan tersebut dilaksanakan bukan termotivasi oleh sesuatu manfaat fisik material (motivasi ekstrinsik), melainkan hanya karena perintah Allah Swt, dengan berharap akan keridho’anNya (motivasi intrinsik).
Dengan demikian, bukankah pola pendidikan Pasundan juga berbasis kompetensi yang meng Integrasikan ilmu, iman dan amal dengan tujuan membangun lulusan “masagi” ?

2.5.2 Pengertian Pendidikan Karakter
Tujuan dari pendidikan di sekolah dan madrasah sangat tergantung pada kurikulum yang digunakannya.
Sebelum reformasi pendidikan, sekolah dan madrasah menggunakan kurikulum mata pelajaran yang bertujuan untuk menyiapkan lulusannya sebagai calon – calon ahli dalam suatu disiplin ilmu. Fokusnya adalah menguasai konsep – konsep keilmuan dasar yang merupakan pondasi dalam keahlian ilmu tersebut. Dalam pendidikan seperti ini dimensi karakter kurang ditekankan. Boleh dikatakan sebagai pendidikan yang  “tidak atau kurang” berdimensi karakter. Setelah  reformasi, pendidikan diarahkan kepada kompetensi lulusan yang meng-intregrasikan ketiga domain, yaitu kognitif (ilmu) afektif (nilai dan sikap) dan motorik (perilaku, tindakan).
Pendidikan berbasis kompetensi tidak berfokus pada keilmuan semata – mata melainkan kepada ketiga domain secara proposional sehingga aplikasi ilmu dalam kehidupan sosial merupakan latihan karakter.
Dengan demikian yang dimaksud dengan pendidikan karakter adalah pendidikan yang  berdimensi berkarakter.
Yang bagaimanakah pendidikan yang berkarakter ?
Pendidikan berbasis kompetensi adalah pendidikan yang mencerdaskan, kreatif, kompetitif, produktif dan berkarakter.

2.6 Peran Guru PAI dalam Memberdayakan Sekolah sebagai Pusat Pembangunan
      Karakter Bangsa

Para guru PAI dapat membangun kesadaran guru-guru umum dan kejuruan bahwa membelajarkan siswa-siswanya untuk menguasai ilmu dan teknologi tanpa pengamalannya dalam kehidupan dengan kebermanfaatan bagi dirinya dan masyarakat dan berintikan nilai-nilai keimanan atau aqidah, belum memenuhi perintah Allah Swt.
Artinya, belum dapat disebut sebagai ibadah kepadaNya,  karena hanya akan membangun siswa yang tidak satu kesatuan antara ucapan, tindakan dan niatnya dalam hatinya. Bukankah pembelajaran seperti itu hanya akan membangun lulusan yang tidak memiliki pribadi integral? Naudzu billahi mindzalik.

Yakinkanlah kepada Guru-Guru umum dan kejuruan bahwa tujuan pembelajaran dalam bidang keilmuan dan teknologi apapun adalah membangun lulusan ahli ibadah [Qs Ad Zariyat (51):56] calon pemimpin [Qs Al BAqarah (2): 30] masa depan.

Inilah yang disebut dengan pendidikan berbasis kompetensi yang berlandaskan pada UU Sisdiknas Tahun 2003. Jadi pendidikan berbasis kompetensi membelajarkan siswa untuk menguasai dan memiliki ilmu pengetahuan dan atau teknologi (KI-3) melatih siswa untuk mengamalkannya dalam kehidupan (KI-4) yang bermanfaat bagi masyarakat (KI-2) sebagai pengabdian kepada Allah Swt (KI-1). Bila semua guru melaksanakan pendidikan berbasis kompetensi secara konsisten, bukankah mereka membelajarkan siswa untuk beribadah kepada-Nya? Bukankah semua guru menjadi pendidik karakter?
Apabila semua guru menjadi pendidik karakter maka sekolah akan menjadi Pusat Pembangunan Karakter Bangsa. Inilah tugas utama Guru PAI sebagai khalifatullah.

Disamping itu Guru PAI dapat meminta bantuan guru-guru umum dan kejuruan untuk bersama-sama mendidik siswanya belajar dan berlatih mendirikan shalat khusyu’, dan implementasinya dalam kehidupan sebagai bentuk penebiasaan berakhlak mulia, yang berdampak pada latihan penyebaran rahmatan lil’alamiin.





0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com