Bab 4
Mendirikan
Shalat Membangun Akhlak Mulia
Al Qur’an
merupakan petunjuk dari Allah Swt bagi makhlukNya, jin dan manusia, yang harus diikuti sebagai pedoman dalam mengarungi
kehidupannya agar mendapatkan kebahagian di dunia dan akhirat kelak serta terhindar
dari azab neraka. Untuk memudahkan makhlukNya mengikuti petunjukNya,
Allah Swt menurunkan rasulNya Muhammad Saw, sesuai firmanNya, yang artinya: “sungguh banyak dalam diri rasul contoh –
contoh yang baik “. [Qs Al Ahzab (33): 21]. Oleh karena itu diwajibkan
kepada kita untuk membaca Al qur’an dengan benar, memahami artinya, meyakini
kebenarannya dalam hati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari – hari.
dengan mencontoh kepada kehidupan rasulullah
Muhammad Saw. Shalat merupakan Ibadah utama yang pertama
kali akan dihisab kelak.
Bagaimana
shalatnya rasulullah?
4.1 Mendirikan Shalat Melatih Perilaku Akhlak Mulia
Rasulullah Saw
memerintahkan umatnya untuk mendidik anak-anak shalat sejak usia tujuh (7) tahun.
Mengapa shalat begitu penting? Rasulullah Saw bersabda, yang artinya: ”Yang
pertama kali ditanya kepada seorang hamba pada hari kiamat adalah perhatian
kepada shalatnya. Jika shalatnya baik, dia akan beruntung. Dan jika shalatnya
rusak, dia akan gagal dan merugi. (HR Tabrani, Tirmidzi dan An Nasa-i)
Hadits
tersebut menegaskan bahwa
shalat yang baik adalah shalat yang bermanfaat bagi diri sendiri, baik di dunia
maupun di akhirat. Shalat yang baik, juga akan bermanfaat bagi masyarakat dan
lingkungannya, karena shalat yang didirikan harus ditindak lanjuti dengan
perilaku akhlak mulia, yaitu tidak berbuat keji dan tidak ingkar pada perintah
Allah Swt, sesuai firmanNya, yang artinya: “Bacalah
kitab (Al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu
mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan mengingat Allah (shalat)
itu lebih besar keutamaannya. Dan Allah
mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. [Qs. Al-Ankabut (29): 45].
Ayat ini menegaskan bahwa
dalam mendirikan shalat termasuk didalamnya kewajiban berperilaku akhlak mulia
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perintah ibadah mendirikan shalat.
Apakah STMJ (shalat terus maksiat jalan) dapat disebut sebagai “mendirikan
shalat”? Berdasarkan firman Allah Swt tersebut, STMJ belum dapat disebut
sebagai mendirikan shalat, mungkin baru “melakukan shalat”.
Bagaimana cara mendirikan
shalat, atau melaksanakan shalat dengan baik dan benar itu? Rasulullah Saw
bersabda, yang artinya: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
shalat.” (H.R. Bukhari).
Kita harus mempelajari
bagaimana Rasulullah Muhammad Saw shalat, mulai dari gerakan, ucapan, pemahaman
akan apa-apa yang diucapkan dalam shalat untuk dibenarkan dan diyakinkan dalam
hati, selanjutnya diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak mulia, yang berdampak pada menyebaran
rahmatan lil’alamin. Rasulullah disebut
sebagai orang yang bermoralkan Al Qur’an.
Kita harus mempelajari
shalatnya rasul secara menyeluruh,
karena shalat merupakan tiangnya agama. Apabila “shalatnya tegak berdiri”, maka
“tegaklah agamanya”, apabila “shalatnya runtuh, runtuhlah agamanya”. Artinya
apabila setiap umat muslim di Indonesia “mendirikan shalat”, tidak hanya sekedar
melakukannya, maka akan terbangun bangsa yang berakhlak mulia, yang berdampak
pada penyebaran kesejahteraan umat, atau rahmatan lil – alamin.
Ibadah
shalat yang merupakan ibadah yang utama dan pertama kali dihisab pada hari
perhitungan, dapat dijadikan pembelajaran PAI berbasis kompetensi bertema
ibadah bertujuan membangun karakter (akhlak mulia) generasi muda, dan
menghilangkan istilah STMJ. Dengan demikian sesuai dengan perintah rasulullah
Muhammad Saw didiklah siswa SD dengan kemampuan shalat khusyu’. Mengapa harus
belajar shalat khusyu’?
Karena dengan shalat
khusyu, Allah Swt berjanji akan memasukkan orang-orang mukmin kedalam kelompok
orang yang beruntung sesuai firmanNya, yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang
yang khusyu' dalam shalatnya” [Qs Al Mu’minun (23): 1-2]
Bagaimanakah shalat yang khusyu’ itu?
Pertama, shalat yang khusyu’ adalah
shalat yang dilakukan dengan penuh konsentrasi.
Dalam bahasa Indonesia khusyu’ adalah konsentrasi, maka shalat
yang khusyu’ adalah shalat yang
dilakukan dengan penuh konsentrasi. Semua indra difokuskan hanya kepada Allah
Swt yang merupakan satu-satunya tuhan yang wajib dan berhak disembah oleh
manusia. Demikian juga pikiran, hati dan fisik jasmaniah, hanya ditujukan pada
Allah Swt, oleh karena itu apa yang diucapkan dalam shalat harus difahami,
dimengerti dan diyakini kebenarannya oleh hati, meskipun diucapkan dalam bahasa
Arab. Belajar shalat khusyu’ merupakan
pendidikan yang pertama dan utama dalam kehidupan.
Shalat
yang khusyu’ adalah shalat yang dilakukan dengan konsentrasi dan
ditindaklanjuti dengan menjauhi perbuatan dan perkataan yang tidak berguna,
sesuai dengan firmanNya, yang artinya: “dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan)
yang tiada berguna” [Qs Al Mu’minun (23): 3].
Setelah shalat khusyu’, siswa SD (anak usia 7
tahun) harus dilatih untuk tidak berbuat yang sia-sia atau menghindarkan kegiatan yang tidak
berguna. Dengan kata lain mereka dilatih untuk berperilaku atau berkarakter
baik. Mereka juga dilatih untuk senang memberi, khususnya kepada kaum dhu’afa, antara
lain dengan berzakat sesuai firmanNya, yang artinya: ”dan orang-orang yang menunaikan zakat” [Qs Al Mu’minun (23): 4].
Berilah pemahaman bahwa berzina dan LGBT
merupakan perbuatan yang melampaui batas, melanggar larangan Allah Swt dan merupakan
perbuatan dosa besar, sesuai dengan firmanNya, yang artinya: “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya “ [Qs
Al Mu’minun (23): 5]
Mereka juga harus dilatih untuk
“amanah” dan menepati janji, karena
janji adalah “hutang”, sesuai dengan firmanNya, yang artinya: “dan orang-orang yang memelihara
amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya” [Qs Al Mu’minun (23): 8].
Mereka harus dilatih
untuk belajar “memelihara shalat”nya. Apa maksudnya? Mereka
berlatih mengamalkan semua yang diucapankan dalam shalatnya, sesuai dengan
firmanNya, yang artinya: “dan orang-orang
yang memelihara shalatnya” [Qs Al Mu’minun (23): 9].
Inilah yang disebut dengan belajar “mendirikan
shalat”, yaitu belajar shalat dengan khusyu’ dan berlatih mengamalkannya dalam
kehidupan dalam bentuk akhlak mulia, yang hadiahnya adalah janji Allah Swt
untuk menjadi pewaris syurga firdaus dan kekal di dalamnya, sesuai dengan
firmanNya, yang artinya: “mereka Itulah
orang-orang yang akan mewarisi, yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal
di dalamnya” [Qs Al Mu’minun (23): 10-11].
Surat Al Mu’minun (23)
ayat 1 s/d 11 memperjelas surat Al Ankabut (29) ayat 45, bahwa perintah mendirikan
shalat adalah perintah melaksanakan shalat dengan khusyu’ yang harus ditindak lanjuti dengan perilaku kita
sehari-hari dalam kehidupan yaitu tidak boleh berbuat keji dan mungkar atau
harus berperilaku akhlak mulia (berkarakter).
Dapat kita simpulkan
bahwa:
Pertama, shalat
khusyu’ adalah shalat yang
dilaksanakan dengan penuh konsentrasi, berpusat pada penyembahan dan pengabdian
manusia sebagai mahlukNya kepada Allah Swt, dengan melibatkan jiwa dan raga
secara totalitas (integral) dan kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari
dalam bentuk ahlak mulia.
Kedua, melaksanakan
shalat dengan khusyu’ dapat disebut
juga sebagai mendirikan shalat, karena mereka yang mendirikan shalat adalah
mereka yang mengerjakan shalat dan sesudah shalat harus ditindak lanjuti dengan
pelaksanaannya dalam kehidupan yaitu menahan diri untuk tidak berbuat keji
serta tidak berbuat yang dilarang oleh Allah Swt (mungkar), sesuai dengan firmanNya dalam Qs Al Ankabut (29): 45.
Ayat ini menegaskan bahwa mendirikan shalat terkait langsung dengan perilaku
ahlak mulia. Orang mendirikan shalat adalah mereka yang melaksanakan shalat
dengan khusyu’ dan memelihara shalatnya dalam kehidupan dalam bentuk perilaku
akhlak mulia.
Ketiga, rasulullah Muhammad Saw memberi contoh kepada umatnya bagaimana mendirikan shalat. Kita sebagai umatnya harus mendirikan shalat seperti yang dicontohkan
rasul yaitu, baik gerakannya, ucapannya, pemahaman akan apa yang diucapkannya
dalam shalat, meyakinkan kebenarannya dalam hati dan mengamalkannya dalam
kehidupan dengan perilaku akhlak
mulia sehingga dapat menyebarkan rahmat kepada lingkungannya.
4.2 Thaharah
yang Menyucikan Fisik dan Hati
Sebelum melaksanakan shalat, diwajibkan untuk bersuci (thaharah). Bersuci
atau thaharah merupakan kunci dari sahnya shalat (dalam HR Tirmidzi,
Ahmad, Baihaqi, Hakim, Ibnu Majah, Daraquthni, dan Darimi) sehingga harus
dilaksanakan berdasarkan kaifiyat yang benar. Thaharah mendidik manusia
untuk menjaga dan memelihara kebersihan, baik fisik maupun hati karena
sesungguhnya agama (Islam) didirikan berdasar kebersihan, sesuai firman Allah
Swt, yang artinya:
“Janganlah kamu shalat dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh-nya mesjid
yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih
patut kamu shalat di dalamnya. Di
dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.” [At Taubah (9): 108]
Ayat tersebut
menegaskan bahwa Allah Swt. menyukai orang-orang yang bersih, dalam arti yang
luas yaitu bersih fisik, hati serta jiwanya, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Imam Ghazali (2010: 31) yang artinya : “Thaharah memiliki empat
tingkatan. Pertama, menyucikan zahir dari hadats. Kedua, menyucikan anggota tubuh dari kejahatan dan dosa. Ketiga, menyucikan hati dari
akhlak yang tercela. Keempat, menyucikan
jiwa dari segala sesuatu selain Allah Swt. Hal terakhir ini adalah thaharah-nya
para nabi dan shiddiqin”.
Pendapat Imam
Gazali ini menekankan bahwa thaharah bukanlah sekedar penyucian fisik
melainkan juga penyucian batin secara terintegrasi atau menyeluruh sebagai satu
kesatuan yang tidak terpisahkan.
Penyucian
fisik, khususnya anggota badan dapat dilakukan dengan cara beristinja, wudlu, tayamum dan mandi dengan
menggunakan air, tanah, dan benda lain (batu) yang menyucikan, tetapi bagaimana
dengan penyucian batin?
Dalam
mengarungi kehidupan, manusia tidak luput dari berbuat khilaf. Oleh karena itu,
perlu penyucian, pembersihan dosa-dosa. Artinya, manusia perlu bersegera
memohon ampunan dari Allah Swt. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt, yang
artinya : “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi, disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” [QS Ali ‘Imran (3): 133-134]
Ayat tersebut
menegaskan perlunya manusia bersegera meminta pengampunan dosa-dosa kepada
Allah Swt. agar bisa kembali menjadi orang-orang yang bertakwa. Thararah merupakan salah satu upaya meminta
pengampunan atas dosa – dosa, karena thaharah bertujuan mensucikan fisik
dan bathin.
Bagaimana
langkah setelah meminta pengampunan? Setelah thaharah yang merupakan
penyucian fisik dan batin, selanjutnya harus ditindak lanjuti dengan pengamalannya
dalam kehidupan dengan selalu berbuat kebajikan. Perbuatan kebajikan yang
berdampak pada penyebaran keselamatan dan kesejahteraan bagi orang lain,
merupakan gambaran keberhasilan penyucian hati karena sesungguhnya merekalah
orang-orang yang beruntung. Sebagaimana firman
Allah Swt yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya.”[QS Asy Syams (91): 9-10].
Ayat tersebut
menegaskan bahwa apabila ingin menjadi orang yang beruntung dalam kehidupan di
dunia, sucikanlah fisik dan bathin paling tidak lima kali dalam sehari, yaitu
dengan mendirikan shalat. Thaharah
yang merupakan bagian
integral dari mendirikan shalat
adalah “proses pengampunan dosa harian” sehingga mereka yang mengerjakannya
akan tetap menjadi orang-orang yang beruntung.
Bagaimana pelaksanaan
thaharah yang menyucikan fisik dan hati (lahir dan bathin)? Proses ber-wudlu yang menyucikan fisik dan juga
hati (batin), dimulai dengan mengucapkan basmallah,
dilanjutkan dengan langkah sebagai berikut.
- Mencuci tangan, adalah membersihkan tangan dari kotoran dan selanjutnya menyucikan
hati, dengan cara mohon pengampunan
pada Allah Swt. atas dosa-dosa yang mungkin telah diperbuat oleh tangan
dan juga mohon kekuatan pada Allah Swt. agar dapat menggunakan tangan
hanya untuk beribadah, tidak untuk berbuat dosa.
- Berkumur-kumur, adalah membersihkan mulut dari sisa makanan, sedangkan untuk
menyucikan hati, kita mohon pengampunan pada Allah Swt. atas dosa-dosa
yang mungkin telah dilakukan oleh lisan kita dan mohon pertolongan pada Allah
Swt. agar lisan kita hanya untuk beribadah kepada-Nya.
- Mencuci lubang hidung dan
kemudian mencuci muka, adalah membersihkan diri dari
kotoran. Sedangkan untuk menyucikan hati, kita mohon pertolongan Allah
Swt. agar hidung, mata, dan muka hanya digunakan untuk ibadah kepada-Nya,
tidak untuk menyakiti orang lain.
- Mengusap kepala dan
mengusap telinga, adalah membersihkan kotoran,
tetapi yang lebih penting adalah mohon pengampunan pada Allah Swt. atas
dosa-dosa yang mungkin telah dilakukan oleh pikiran dan pendengaran kita.
Selanjutnya kita mohon pertolongan Allah Swt. agar kita selalu berpikir
positif yang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan serta terjaga dari
pendengaran yang batil.
- Mencuci kaki, adalah membersihkan kaki dari kotoran. Dalam hati, kita mohon
pengampunan pada Allah Swt. dari dosa-dosa yang mungkin telah diperbuat
oleh kaki dan dari perjalanan yang mubazir. Selanjutnya kita mohon
pertolongan Allah Swt. agar kaki hanya digunakan untuk berjalan dalam
rangka ibadah dan bukan untuk perjalanan yang maksiat.
Wudlu diakhiri dengan
membaca syahadat untuk memperbarui keimanan dan keislaman kita karena mungkin
sebelum ber-wudlu kita telah
melakukan dosa (ingkar dari aturan Allah Swt.). Bukankah apabila kita ingkar
dari aturan Allah Swt., kita telah menjadi “kafir”? Orang kafir tidak
diwajibkan shalat maka untuk
melakukan shalat perlu
bersyahadat lagi sebagai pembaruan dan peningkatan nilai-nilai iman.
Demikianlah
contoh sederhana bagaimana melakukan wudlu
yang menyucikan fisik dan hati sebagai kegiatan pengampunan dosa harian.
Bagaimana langkah setelah meminta pengampunan?
Setelah thaharah yang merupakan penyucian fisik dan
bathin, selanjutnya harus ditindak lanjuti dengan pengamalannya dalam kehidupan
dengan selalu berbuat kebajikan. Perbuatan kebajikan yang berdampak pada
penyebaran keselamatan dan kesejahteraan bagi orang lain, merupakan gambaran
keberhasilan penyucian hati karena sesungguhnya merekalah orang-orang yang beruntung [QS Asy Syams (91): 9-10].
4.3
Guru
Sebagai Ulama Pewaris Nabi
Guru adalah sosok orang yang
berilmu sehingga dapat disebut sosok “ulama”. Guru adalah pendidik yang segala
ucapannya layak untuk “digugu” dalam arti dipatuhi oleh peserta didik dan
diikuti oleh masyarakat lingkungannya dan perilakunya patut “ditiru”. Guru merupakan
pemimpin informal di sekolah dan atau madrasah dan juga di masyarakat sebagai
sosok “teladan”.
Kepada siapa para Guru harus berguru?
Siapa sosok teladan yang harus
diteladani Guru?
Allah Swt berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzab(33): 21].
Ayat ini menjelaskan bahwa
sungguh banyak contoh-contoh yang baik pada diri Rasulullah Muhammad Saw yang
harus ditiru oleh umatnya. Apa yang diucapkan Rasul harus “digugu” dan segala
perilaku Rasul harus ditiru oleh umatnya, maka rasulullah merupakan “Guru” bagi
umatnya dan khususnya bagi Guru-Guru.
Mengapa?
Karena Guru sebagai ulama adalah hamba Allah Swt yang harus mengikuti
perintahNya, dan juga merupakan pewaris nabi, pewaris rasulullah Muhammad Saw,
yang harus melanjutkan tugas-tugas rasul. Apa sebenarnya tugas utama Rasulullah
Muhammad Saw?
Rasulullah Muhammad Saw
bersabda, yang artinya: ”Tiada aku diutus kemuka bumi selain untuk
menyempurnakan akhlak.” (HR.Bukhori)
Oleh karena itu Guru
sebagai “ulama pewaris nabi” harus melanjutkan perjuangan nabi yaitu
menyempurnakan akhlak bangsa, khususnya akhlak generasi muda.
Artinya,
semua Guru dalam melaksanakan tugas – tugasnya
sebagai pendidik, harus dapat membangun karakter peserta didik, bukan hanya
guru PAI. Padahal pada saat ini ada pemahaman bahwa Guru yang bertanggung jawab
dalam membangun karakter atau akhlak mulia peserta didik hanyalah Guru PAI
(Pendidikan Agama Islam). Inilah peran tambahan
guru PAI yaitu mengajak semua guru lainnya untuk membangun lulusan sebagai
calon khalifah yang Abdullah.
0 komentar:
Posting Komentar