Senin, 05 Desember 2016

Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Kompetensi Bertema Ibadah (Membangun Generasi Khalifah Yang Abdullah)

Bab 4
Mendirikan Shalat Membangun Akhlak Mulia

Al Quran merupakan petunjuk dari Allah Swt bagi makhlukNya, jin dan manusia, yang harus diikuti sebagai pedoman dalam mengarungi kehidupannya agar mendapatkan kebahagian di dunia dan akhirat kelak serta terhindar dari azab neraka. Untuk memudahkan makhlukNya mengikuti petunjukNya, Allah Swt menurunkan rasulNya Muhammad Saw, sesuai firmanNya, yang artinya: “sungguh banyak dalam diri rasul contoh – contoh yang baik “. [Qs Al Ahzab (33): 21]. Oleh karena itu diwajibkan kepada kita untuk membaca Al qur’an dengan benar, memahami artinya, meyakini kebenarannya dalam hati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari – hari. dengan mencontoh  kepada kehidupan rasulullah Muhammad Saw. Shalat merupakan Ibadah utama yang pertama kali akan dihisab kelak.
Bagaimana shalatnya rasulullah?


4.1    Mendirikan Shalat Melatih Perilaku Akhlak Mulia
Rasulullah Saw memerintahkan umatnya untuk mendidik anak-anak shalat sejak usia tujuh (7) tahun. Mengapa shalat begitu penting? Rasulullah Saw bersabda, yang artinya: ”Yang pertama kali ditanya kepada seorang hamba pada hari kiamat adalah perhatian kepada shalatnya. Jika shalatnya baik, dia akan beruntung. Dan jika shalatnya rusak, dia akan gagal dan merugi. (HR Tabrani, Tirmidzi dan An Nasa-i)
Hadits tersebut menegaskan bahwa shalat yang baik adalah shalat yang bermanfaat bagi diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat. Shalat yang baik, juga akan bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya, karena shalat yang didirikan harus ditindak lanjuti dengan perilaku akhlak mulia, yaitu tidak berbuat keji dan tidak ingkar pada perintah Allah Swt, sesuai firmanNya, yang artinya: “Bacalah kitab (Al Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan mengingat Allah (shalat) itu lebih besar keutamaannya. Dan  Allah mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan. [Qs. Al-Ankabut (29): 45].
Ayat ini menegaskan bahwa dalam mendirikan shalat termasuk didalamnya kewajiban berperilaku akhlak mulia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perintah ibadah mendirikan shalat. Apakah STMJ (shalat terus maksiat jalan) dapat disebut sebagai “mendirikan shalat”? Berdasarkan firman Allah Swt tersebut, STMJ belum dapat disebut sebagai mendirikan shalat, mungkin baru “melakukan shalat”.
Bagaimana cara mendirikan shalat, atau melaksanakan shalat dengan baik dan benar itu? Rasulullah Saw bersabda, yang artinya: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.R. Bukhari).
Kita harus mempelajari bagaimana Rasulullah Muhammad Saw shalat, mulai dari gerakan, ucapan, pemahaman akan apa-apa yang diucapkan dalam shalat untuk dibenarkan dan diyakinkan dalam hati,  selanjutnya diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak mulia, yang berdampak pada menyebaran rahmatan lil’alamin. Rasulullah disebut  sebagai orang yang bermoralkan Al Qur’an.
Kita harus mempelajari shalatnya rasul secara menyeluruh, karena shalat merupakan tiangnya agama. Apabila “shalatnya tegak berdiri”, maka “tegaklah agamanya”, apabila “shalatnya runtuh, runtuhlah agamanya”. Artinya apabila setiap umat muslim di Indonesia “mendirikan shalat”, tidak hanya sekedar melakukannya, maka akan terbangun bangsa yang berakhlak mulia, yang berdampak pada penyebaran kesejahteraan umat, atau rahmatan lil – alamin.
Ibadah shalat yang merupakan ibadah yang utama dan pertama kali dihisab pada hari perhitungan, dapat dijadikan pembelajaran PAI berbasis kompetensi bertema ibadah bertujuan membangun karakter (akhlak mulia) generasi muda, dan menghilangkan istilah STMJ. Dengan demikian sesuai dengan perintah rasulullah Muhammad Saw didiklah siswa SD dengan kemampuan shalat khusyu’. Mengapa harus belajar shalat khusyu’?
Karena dengan shalat khusyu, Allah Swt berjanji akan memasukkan orang-orang mukmin kedalam kelompok orang yang beruntung sesuai firmanNya, yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya” [Qs Al Mu’minun (23): 1-2]
Bagaimanakah shalat yang khusyu’ itu?
Pertama, shalat yang khusyu’ adalah shalat yang dilakukan dengan penuh konsentrasi.
Dalam bahasa Indonesia khusyu’ adalah konsentrasi, maka shalat yang khusyu’ adalah shalat yang dilakukan dengan penuh konsentrasi. Semua indra difokuskan hanya kepada Allah Swt yang merupakan satu-satunya tuhan yang wajib dan berhak disembah oleh manusia. Demikian juga pikiran, hati dan fisik jasmaniah, hanya ditujukan pada Allah Swt, oleh karena itu apa yang diucapkan dalam shalat harus difahami, dimengerti dan diyakini kebenarannya oleh hati, meskipun diucapkan dalam bahasa Arab. Belajar shalat khusyu’ merupakan pendidikan yang pertama dan utama dalam kehidupan.
Shalat yang khusyu’ adalah shalat yang dilakukan dengan konsentrasi dan ditindaklanjuti dengan menjauhi perbuatan dan perkataan yang tidak berguna, sesuai dengan firmanNya, yang artinya: “dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna” [Qs Al Mu’minun (23): 3].
Setelah shalat khusyu’, siswa SD (anak usia 7 tahun) harus dilatih untuk tidak berbuat yang sia-sia atau menghindarkan kegiatan yang tidak berguna. Dengan kata lain mereka dilatih untuk berperilaku atau berkarakter baik. Mereka juga dilatih untuk senang memberi, khususnya kepada kaum dhu’afa, antara lain dengan berzakat sesuai firmanNya, yang artinya: ”dan orang-orang yang menunaikan zakat” [Qs Al Mu’minun (23): 4].

Berilah pemahaman bahwa berzina dan LGBT merupakan perbuatan yang melampaui batas, melanggar larangan Allah Swt dan merupakan perbuatan dosa besar, sesuai dengan firmanNya, yang artinya:  “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya “ [Qs Al Mu’minun (23): 5]

Mereka juga harus dilatih untuk “amanah” dan menepati janji, karena janji adalah “hutang”, sesuai dengan firmanNya, yang artinya: “dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”  [Qs Al Mu’minun (23): 8].

Mereka harus dilatih untuk belajar “memelihara shalat”nya. Apa maksudnya? Mereka berlatih mengamalkan semua yang diucapankan dalam shalatnya, sesuai dengan firmanNya, yang artinya: “dan orang-orang yang memelihara shalatnya” [Qs Al Mu’minun (23): 9].
Inilah yang disebut dengan belajar “mendirikan shalat”, yaitu belajar shalat dengan khusyu’ dan berlatih mengamalkannya dalam kehidupan dalam bentuk akhlak mulia, yang hadiahnya adalah janji Allah Swt untuk menjadi pewaris syurga firdaus dan kekal di dalamnya, sesuai dengan firmanNya, yang artinya: “mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya” [Qs Al Mu’minun (23): 10-11].
Surat Al Mu’minun (23) ayat 1 s/d 11 memperjelas surat Al Ankabut (29) ayat 45, bahwa perintah mendirikan shalat adalah perintah melaksanakan shalat dengan khusyu’ yang  harus ditindak lanjuti dengan perilaku kita sehari-hari dalam kehidupan yaitu tidak boleh berbuat keji dan mungkar atau harus berperilaku akhlak mulia (berkarakter).
Dapat kita simpulkan bahwa:
Pertama, shalat khusyu’ adalah shalat yang dilaksanakan dengan penuh konsentrasi, berpusat pada penyembahan dan pengabdian manusia sebagai mahlukNya kepada Allah Swt, dengan melibatkan jiwa dan raga secara totalitas (integral) dan kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk ahlak mulia.
Kedua, melaksanakan shalat dengan khusyu’ dapat disebut juga sebagai mendirikan shalat, karena mereka yang mendirikan shalat adalah mereka yang mengerjakan shalat dan sesudah shalat harus ditindak lanjuti dengan pelaksanaannya dalam kehidupan yaitu menahan diri untuk tidak berbuat keji serta tidak berbuat yang dilarang oleh Allah Swt (mungkar), sesuai dengan firmanNya dalam Qs Al Ankabut (29): 45. Ayat ini menegaskan bahwa mendirikan shalat terkait langsung dengan perilaku ahlak mulia. Orang mendirikan shalat adalah mereka yang melaksanakan shalat dengan khusyu’ dan memelihara shalatnya dalam kehidupan dalam bentuk perilaku akhlak mulia.
Ketiga, rasulullah Muhammad Saw memberi contoh kepada umatnya bagaimana mendirikan shalat. Kita sebagai umatnya harus mendirikan shalat seperti yang dicontohkan rasul yaitu, baik gerakannya, ucapannya, pemahaman akan apa yang diucapkannya dalam shalat, meyakinkan kebenarannya dalam hati dan mengamalkannya dalam kehidupan dengan perilaku akhlak mulia sehingga dapat menyebarkan rahmat kepada lingkungannya.

4.2  Thaharah yang Menyucikan Fisik dan Hati
Sebelum melaksanakan shalat, diwajibkan untuk bersuci (thaharah). Bersuci atau thaharah merupakan kunci dari sahnya shalat (dalam HR Tirmidzi, Ahmad, Baihaqi, Hakim, Ibnu Majah, Daraquthni, dan Darimi) sehingga harus dilaksanakan berdasarkan kaifiyat yang benar. Thaharah mendidik manusia untuk menjaga dan memelihara kebersihan, baik fisik maupun hati karena sesungguhnya agama (Islam) didirikan berdasar kebersihan, sesuai firman Allah Swt,  yang artinya: “Janganlah kamu shalat dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh-nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu shalat di dalamnya. Di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih. [At Taubah (9): 108]
Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah Swt. menyukai orang-orang yang bersih, dalam arti yang luas yaitu bersih fisik, hati serta jiwanya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ghazali (2010: 31) yang artinya : “Thaharah memiliki empat tingkatan. Pertama, menyucikan zahir dari hadats. Kedua, menyucikan anggota tubuh dari kejahatan dan dosa. Ketiga, menyucikan hati dari akhlak yang tercela. Keempat, menyucikan jiwa dari segala sesuatu selain Allah Swt. Hal terakhir ini adalah thaharah-nya para nabi dan shiddiqin”.
 Pendapat Imam Gazali ini menekankan bahwa thaharah bukanlah sekedar penyucian fisik melainkan juga penyucian batin secara terintegrasi atau menyeluruh sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Penyucian fisik, khususnya anggota badan dapat dilakukan dengan cara beristinja, wudlu, tayamum dan mandi dengan menggunakan air, tanah, dan benda lain (batu) yang menyucikan, tetapi bagaimana dengan penyucian batin?
Dalam mengarungi kehidupan, manusia tidak luput dari berbuat khilaf. Oleh karena itu, perlu penyucian, pembersihan dosa-dosa. Artinya, manusia perlu bersegera memohon ampunan dari Allah Swt. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt, yang artinya : “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi,  disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” [QS Ali ‘Imran (3): 133-134]
Ayat tersebut menegaskan perlunya manusia bersegera meminta pengampunan dosa-dosa kepada Allah Swt. agar bisa kembali menjadi orang-orang yang bertakwa. Thararah merupakan salah satu upaya meminta pengampunan atas dosa – dosa, karena thaharah bertujuan mensucikan fisik dan bathin.
Bagaimana langkah setelah meminta pengampunan? Setelah thaharah yang merupakan penyucian fisik dan batin, selanjutnya harus ditindak lanjuti dengan pengamalannya dalam kehidupan dengan selalu berbuat kebajikan. Perbuatan kebajikan yang berdampak pada penyebaran keselamatan dan kesejahteraan bagi orang lain, merupakan gambaran keberhasilan penyucian hati karena sesungguhnya merekalah orang-orang yang beruntung. Sebagaimana firman Allah Swt yang artinya: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”[QS Asy Syams (91): 9-10].
Ayat tersebut menegaskan bahwa apabila ingin menjadi orang yang beruntung dalam kehidupan di dunia, sucikanlah fisik dan bathin paling tidak lima kali dalam sehari, yaitu dengan mendirikan shalat. Thaharah yang merupakan bagian integral dari mendirikan shalat adalah “proses pengampunan dosa harian” sehingga mereka yang mengerjakannya akan tetap menjadi orang-orang yang beruntung.
Bagaimana pelaksanaan thaharah yang menyucikan fisik dan hati (lahir dan bathin)? Proses ber-wudlu yang menyucikan fisik dan juga hati (batin), dimulai dengan mengucapkan basmallah, dilanjutkan dengan langkah sebagai berikut.
  1. Mencuci tangan, adalah membersihkan tangan dari kotoran dan selanjutnya menyucikan hati, dengan cara  mohon pengampunan pada Allah Swt. atas dosa-dosa yang mungkin telah diperbuat oleh tangan dan juga mohon kekuatan pada Allah Swt. agar dapat menggunakan tangan hanya untuk beribadah, tidak untuk berbuat dosa.
  2. Berkumur-kumur, adalah membersihkan mulut dari sisa makanan, sedangkan untuk menyucikan hati, kita mohon pengampunan pada Allah Swt. atas dosa-dosa yang mungkin telah dilakukan oleh lisan kita dan mohon pertolongan pada Allah Swt. agar lisan kita hanya untuk beribadah kepada-Nya.
  3. Mencuci lubang hidung dan kemudian mencuci muka, adalah membersihkan diri dari kotoran. Sedangkan untuk menyucikan hati, kita mohon pertolongan Allah Swt. agar hidung, mata, dan muka hanya digunakan untuk ibadah kepada-Nya, tidak untuk menyakiti orang lain.
  4. Mengusap kepala dan mengusap telinga, adalah membersihkan kotoran, tetapi yang lebih penting adalah mohon pengampunan pada Allah Swt. atas dosa-dosa yang mungkin telah dilakukan oleh pikiran dan pendengaran kita. Selanjutnya kita mohon pertolongan Allah Swt. agar kita selalu berpikir positif yang bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan serta terjaga dari pendengaran yang batil.
  5. Mencuci kaki, adalah membersihkan kaki dari kotoran. Dalam hati, kita mohon pengampunan pada Allah Swt. dari dosa-dosa yang mungkin telah diperbuat oleh kaki dan dari perjalanan yang mubazir. Selanjutnya kita mohon pertolongan Allah Swt. agar kaki hanya digunakan untuk berjalan dalam rangka ibadah dan bukan untuk perjalanan yang maksiat.
Wudlu diakhiri dengan membaca syahadat untuk memperbarui keimanan dan keislaman kita karena mungkin sebelum ber-wudlu kita telah melakukan dosa (ingkar dari aturan Allah Swt.). Bukankah apabila kita ingkar dari aturan Allah Swt., kita telah menjadi “kafir”? Orang kafir tidak diwajibkan shalat maka untuk melakukan shalat perlu bersyahadat lagi sebagai pembaruan dan peningkatan nilai-nilai iman.
Demikianlah contoh sederhana bagaimana melakukan wudlu yang menyucikan fisik dan hati sebagai kegiatan pengampunan dosa harian.
Bagaimana langkah setelah meminta pengampunan?
Setelah thaharah yang merupakan penyucian fisik dan bathin, selanjutnya harus ditindak lanjuti dengan pengamalannya dalam kehidupan dengan selalu berbuat kebajikan. Perbuatan kebajikan yang berdampak pada penyebaran keselamatan dan kesejahteraan bagi orang lain, merupakan gambaran keberhasilan penyucian hati karena sesungguhnya merekalah orang-orang yang beruntung [QS Asy Syams (91): 9-10].

4.3    Guru Sebagai Ulama Pewaris Nabi

Guru adalah sosok orang yang berilmu sehingga dapat disebut sosok “ulama”. Guru adalah pendidik yang segala ucapannya layak untuk “digugu” dalam arti dipatuhi oleh peserta didik dan diikuti oleh masyarakat lingkungannya dan perilakunya patut “ditiru”. Guru merupakan pemimpin informal di sekolah dan atau madrasah dan juga di masyarakat sebagai sosok “teladan”.
Kepada siapa para Guru harus berguru?
Siapa sosok teladan yang harus  diteladani Guru?
Allah Swt berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah  suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzab(33): 21].
Ayat ini menjelaskan bahwa sungguh banyak contoh-contoh yang baik pada diri Rasulullah Muhammad Saw yang harus ditiru oleh umatnya. Apa yang diucapkan Rasul harus “digugu” dan segala perilaku Rasul harus ditiru oleh umatnya, maka rasulullah merupakan “Guru” bagi umatnya dan khususnya bagi Guru-Guru.
Mengapa?
Karena Guru sebagai ulama adalah hamba Allah Swt yang harus mengikuti perintahNya, dan juga merupakan pewaris nabi, pewaris rasulullah Muhammad Saw, yang harus melanjutkan tugas-tugas rasul. Apa sebenarnya tugas utama Rasulullah Muhammad Saw?
Rasulullah Muhammad Saw bersabda, yang artinya: ”Tiada aku diutus kemuka bumi selain untuk menyempurnakan akhlak.” (HR.Bukhori)
Oleh karena itu Guru sebagai “ulama pewaris nabi” harus melanjutkan perjuangan nabi yaitu menyempurnakan akhlak bangsa, khususnya akhlak generasi muda.
Artinya, semua Guru dalam melaksanakan tugas – tugasnya sebagai pendidik, harus dapat membangun karakter peserta didik, bukan hanya guru PAI. Padahal pada saat ini ada pemahaman bahwa Guru yang bertanggung jawab dalam membangun karakter atau akhlak mulia peserta didik hanyalah Guru PAI (Pendidikan Agama Islam). Inilah peran tambahan guru PAI yaitu mengajak semua guru lainnya untuk membangun lulusan sebagai calon khalifah yang Abdullah.



0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com