Bab 5
Model Pembelajaran Generasi Z
Dalam hal pendidikan rasulullah
Muhammad Saw besabda, yang artinya : “Didiklah anak – anak mu untuk zamannya,
dan bukan untuk zamanmu”.
Seribu lima ratus tahun yang
lalu rasulullah telah mewaspadai adanya perubahan zaman dan perlunya pendidikan
bagi anak –anak yang zamannya berbeda dengan guru dan orang tuanya. Terkait
dengan perbedaan zaman antara guru dan siswa, Fidelis Waruwu, (2016)
mengemukakan tentang karakter dan cara belajar siswa yang berada dalam generasi
Z dan generasi Alpha.
Dengan mengutip teori generasi
(Generation Theory) yang dikemukakan oleh Graeme Codrington & Sue Grant –
Marshall, (2004) dibedakan lima generasi, yaitu :
1.
Generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964
2.
Generasi X, lahir 1965-1980
3.
Generasi Y, lahir 1981-1994, generasi millennial
4.
Generasi Z, lahir 1995-2010 (disebut juga
iGeneration, Generasi Net, Generasi Internet). Orangtuanya adalah generasi X
dan Y
5.
Generasi Alpha, lahir 2011-2025
Mayoritas guru merupakan generasi X dan generasi Y, dan mungkin hanya
sedikit dari generasi Baby Boomer. Sedangkan mayoritas siswa SD dan sebagian
SMP merupakan generasi Z.
Bagaimana sifat – sifat generasi Z, Fidelis Waruwu, (2016)
mengemukakan dalam Seminar pada September 2016 yang diselenggarakan oleh
Mentari (Integrated Solution In Education), sebagai berikut :
·
Ciri – ciri sifat positifnya adalah :
§ Cepat
menangkap
§ Trampil
menggunakan IT (cepat)
§ Kreativitas
tinggi
§ Daya
ingat kuat
§ Percaya
diri, pandai bicara
§ Lebih
berani (mengemukakan pendapat)
§ Rasa
ingin tahu besar
§ Cepat
dewasa
·
Ciri – ciri sifat yang kurang baiknya adalah :
§
Kurang daya juang
§
Membangkang, susah diatur
§
Kurang mandiri
§
Kurang menghormati orang tua (kurang sopan)
§
Kurang bertanggung jawab
§
Materialis, cari jalan pintas.
§
Santai, Manja, cengeng
§
Cari perhatian
§
Kurang fokus, konsentrasi
§
Cepat bosan
§
Emosi tinggi, mudah tersinggung
§
Instan, manja, suka ngambek
§
Cuek, Egois, egosentris, kurang peka
·
Ciri – ciri sifat negatifnya adalah :
§
Kecanduan gadget, sulit mengatur waktu dan
menentukan prioritas (hal-hal yang tidak penting lebih diutamakan)
§
Banyak
buang waktu (nonton, main games); Jadwal
berantakkan.
§
Individualis, tidak mempedulikan lingkungan
sekitar (ketemu orang tidak menyapa)
§
Egois
§
Hubungan pribadi dalam keluarga renggang
§
Anti sosial, mementingkan pencitraan diri di
dunia maya
§
Masalah
kesehatan (kesehatan menurun)
§
Lebih
tertutup
§
Malas (proses otak menjadi lambat)
§
Cyber bullying, mudah melakukan kejahatan (bertengkar
di Media Sosial)
§ Maunya
serba instan, kurang berusaha.
Dari uraian
tentang ciri- ciri sifat generasi Z tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kecerdasan Intelektual mereka meningkat, dunia pengetahuan mereka menjadi
sangat luas dalam usianya yang relatif muda, tetapi kecerdasan emosional –
spiritual nya menurun drastis di banding dengan generasi Baby Boomer dan
generasi X.
Pola
belajar dengan menggunakan IT atau digital
learning akan sesuai dengan tuntutan pembelajaran generasi Z, tetapi
pembelajaran yang bagaimanakah yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional – spiritual
mereka ?
Di samping
digital learning yang di modifikasi
dengan Integrasi nilai – nilai spiritual, seperti yang dilakukan oleh SD Ar
Rafi, maka pembelajaran agama Islam berbasis kompetensi, bertema ibadah yang
bertujuan membangun akhlak mulia dan aqidah, merupakan suatu kebutuhan agar
mereka tetap menjadi Abdullah calon khalifah masa depan.
5.1
Shalat
Khusyu’ Meningkatkan Aqidah (Kecerdasan Emosional – Spiritual)
Rasulullah Muhammad Saw meminta
umatnya untuk memerintahkan anak–anaknya belajar mendirikan shalat (khusyu’)
sejak usia 7 tahun. Mengapa ?
Ada beberapa manfaat belajar
shalat khusyu’ sejak kecil, antara lain yaitu:
Pertama, shalat
adalah sarana komunikasi antara manusia dengan Allah Swt. Manusia dapat meminta
kepada tuhannya melalui shalat, sesuai firman Nya, yang artinya : “mintalah engkau kepada Ku dengan shabar dan
shalat”. [Qs Al Baqarah (2) : 153 ].
Melalui belajar berkomunikasi langsung dengan Allah Swt akan
meningkatkan “kesadaran” anak bahwa dia adalah makhluk ciptaanNya. Bukankah hal
tersebut meningkatkan aqidahnya? Dan dengan meminta langsung
kepada tuhannya, dan dengan perkenanNya mereka menjadi anak shalih.
Mengapa anak harus belajar
berkomunikasi langsung dengan tuhannya Allah Swt ?
Karena aqidah atau kecerdasan
emosional - spiritual anak hanya dapat dibentuk oleh dirinya sendiri, seperti
firman Nya, yang artinya : “Tiada
seseorang memperoleh sesuatu kecuali apa yang di upayakannya (sendiri)”. [Qs
An Najm (53) : 39]. Dengan demikian nilai – nilai keimanan atau nilai – nilai
aqidah hanya dapat dibentuk dan di organisasikan dalam “system nilai” oleh anak
itu sendiri. Sedangkan guru hanyalah berperan sebagai motivator dan
fasilitator.
Dengan melaksanakan shalat
khusyu’ lima kali sehari dengan 17 rakaat, anak belajar dan berlatih membangun
nilai demi nilai yang kemudian “disimpan” dalam “system nilai”, yang makin lama
makin mengokohkan aqidahnya.
Aqidah yang kokoh atau tinggi
nya kecerdasan emosional spiritual merupakan 80 % pondasi keberhasilan anak
dalam mengarungi kehidupan.
Kedua, anak
belajar dan berlatih mengamalkan semua yang diucapkannya dalam shalat, dalam
kehidupan sehari–hari, antara lain untuk tidak berbuat keji dengan sesama
temannya dan belajar untuk menjadi anak yang baik yaitu yang banyak manfaatnya
bagi orang lain, seperti yang disabdakan rasulullah Muhammad Saw, yang artinya
: “Orang yang baik adalah orang yang
paling banyak manfaatnya bagi orang lain”. Dengan kata lain anak belajar
berakhlak mulia dan menjadikan rasulullah Muhammad Saw sebagai panutannya.
Kalau anak sejak usia tujuh
tahun mulai belajar dan berlatih untuk mengamalkan semua ucapannya dalam shalat
dalam kehidupan sehari – hari, bukankah mereka belajar mematuhi perintah
tuhannya Allah Swt ?
Bukankah mereka belajar dan
berlatih membangun aqidah nya?
Bukankah mereka belajar
meningkatkan kecerdasan emosional – spiritual ?
Bukankah mereka belajar dan
berlatih menjadi sosok muttaqien ?
Ketiga, kedua
hal tersebut merupakan upaya peningkatan kecerdasan emosional – spiritual yang
merupakan 80% pendukung keberhasilan anak dalam kehidupannya kelak. Berdasarkan
pendapat para pakar pendidikan bahwa kecerdasan Intelektual atau kecakapan
berpikir hanya mendukung 20% keberhasilan kehidupan masa depan anak. Dengan
kata lain berlatih mendirikan shalat khusyu’ merupakan upaya membangun 80 %
pondasi keberhasilan kehidupan anak di masa depan.
Keempat,
mendidik anak shalat khusyu’ yang diamalkan dalam kehidupan dalam bentuk akhlak
mulia, merupakan upaya pemberdayaan anak generasi Z menjadi abdullah, sesuai
perintah Allah Swt [Qs Adz Zariyat (51): 56]. Hal ini merupakan amal shalih
para guru yang ulama, sehingga dijanjiikan
Allah Swt untuk mendapatkan pahala yang terus menerus dan terhindar dari
azab neraka. Aamiin YRA.
0 komentar:
Posting Komentar