Senin, 05 Desember 2016

Pendidikan Agama Islam (PAI) Berbasis Kompetensi Bertema Ibadah (Membangun Generasi Khalifah Yang Abdullah)

Bab 5
Model Pembelajaran Generasi Z

Dalam hal pendidikan rasulullah Muhammad Saw besabda, yang artinya : “Didiklah anak – anak mu untuk zamannya, dan bukan untuk zamanmu”.
Seribu lima ratus tahun yang lalu rasulullah telah mewaspadai adanya perubahan zaman dan perlunya pendidikan bagi anak –anak yang zamannya berbeda dengan guru dan orang tuanya. Terkait dengan perbedaan zaman antara guru dan siswa, Fidelis Waruwu, (2016) mengemukakan tentang karakter dan cara belajar siswa yang berada dalam generasi Z dan generasi Alpha.
Dengan mengutip teori generasi (Generation Theory) yang dikemukakan oleh Graeme Codrington & Sue Grant – Marshall, (2004) dibedakan lima generasi, yaitu :
1.      Generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964
2.      Generasi X, lahir 1965-1980
3.      Generasi Y, lahir 1981-1994, generasi millennial
4.      Generasi Z, lahir 1995-2010 (disebut juga iGeneration, Generasi Net, Generasi Internet). Orangtuanya adalah generasi X dan Y
5.      Generasi Alpha, lahir 2011-2025

Mayoritas guru merupakan generasi X dan generasi Y, dan mungkin hanya sedikit dari generasi Baby Boomer. Sedangkan mayoritas siswa SD dan sebagian SMP merupakan generasi Z.
Bagaimana sifat – sifat generasi Z, Fidelis Waruwu, (2016) mengemukakan dalam Seminar pada September 2016 yang diselenggarakan oleh Mentari (Integrated Solution In Education), sebagai berikut :
·         Ciri – ciri sifat positifnya adalah :
§  Cepat menangkap
§  Trampil menggunakan IT (cepat)
§  Kreativitas tinggi
§  Daya ingat kuat
§  Percaya diri, pandai bicara
§  Lebih berani (mengemukakan pendapat)
§  Rasa ingin tahu besar
§  Cepat dewasa

·         Ciri – ciri sifat yang kurang baiknya adalah :
§  Kurang daya juang
§  Membangkang, susah diatur
§  Kurang mandiri
§  Kurang menghormati orang tua (kurang sopan)
§  Kurang bertanggung jawab
§  Materialis, cari jalan pintas.
§  Santai, Manja, cengeng
§  Cari perhatian
§  Kurang fokus, konsentrasi
§  Cepat bosan
§  Emosi tinggi, mudah tersinggung
§  Instan, manja, suka ngambek
§  Cuek, Egois, egosentris, kurang peka

·         Ciri – ciri sifat negatifnya adalah :
§  Kecanduan gadget, sulit mengatur waktu dan menentukan prioritas (hal-hal yang tidak penting lebih diutamakan)
§   Banyak buang waktu (nonton, main games); Jadwal  berantakkan.
§   Individualis, tidak mempedulikan lingkungan sekitar (ketemu orang tidak menyapa)
§  Egois
§  Hubungan pribadi dalam keluarga renggang
§  Anti sosial, mementingkan pencitraan diri di dunia maya
§   Masalah kesehatan (kesehatan menurun)
§   Lebih tertutup
§  Malas (proses otak menjadi lambat)
§  Cyber bullying, mudah melakukan kejahatan (bertengkar di Media Sosial)
§  Maunya serba instan, kurang berusaha.
Dari uraian tentang ciri- ciri sifat generasi Z tersebut, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan Intelektual mereka meningkat, dunia pengetahuan mereka menjadi sangat luas dalam usianya yang relatif muda, tetapi kecerdasan emosional – spiritual nya menurun drastis di banding dengan generasi Baby Boomer dan generasi X.
Pola belajar dengan menggunakan IT atau digital learning akan sesuai dengan tuntutan pembelajaran generasi Z, tetapi pembelajaran yang bagaimanakah yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional – spiritual mereka ?
Di samping digital learning yang di modifikasi dengan Integrasi nilai – nilai spiritual, seperti yang dilakukan oleh SD Ar Rafi, maka pembelajaran agama Islam berbasis kompetensi, bertema ibadah yang bertujuan membangun akhlak mulia dan aqidah, merupakan suatu kebutuhan agar mereka tetap menjadi Abdullah calon khalifah masa depan.

5.1        Shalat Khusyu’ Meningkatkan Aqidah (Kecerdasan Emosional – Spiritual)
Rasulullah Muhammad Saw meminta umatnya untuk memerintahkan anak–anaknya belajar mendirikan shalat (khusyu’) sejak usia 7 tahun. Mengapa ?
Ada beberapa manfaat belajar shalat khusyu’ sejak kecil, antara lain yaitu:
Pertama, shalat adalah sarana komunikasi antara manusia dengan Allah Swt. Manusia dapat meminta kepada tuhannya melalui shalat, sesuai firman Nya, yang artinya : “mintalah engkau kepada Ku dengan shabar dan shalat”. [Qs Al Baqarah (2) : 153 ].  Melalui belajar berkomunikasi langsung dengan Allah Swt akan meningkatkan “kesadaran” anak bahwa dia adalah makhluk ciptaanNya. Bukankah hal tersebut meningkatkan aqidahnya? Dan dengan meminta langsung kepada tuhannya, dan dengan perkenanNya mereka menjadi anak shalih.
Mengapa anak harus belajar berkomunikasi langsung dengan tuhannya Allah Swt ?
Karena aqidah atau kecerdasan emosional - spiritual anak hanya dapat dibentuk oleh dirinya sendiri, seperti firman Nya, yang artinya : “Tiada seseorang memperoleh sesuatu kecuali apa yang di upayakannya (sendiri)”. [Qs An Najm (53) : 39]. Dengan demikian nilai – nilai keimanan atau nilai – nilai aqidah hanya dapat dibentuk dan di organisasikan dalam “system nilai” oleh anak itu sendiri. Sedangkan guru hanyalah berperan sebagai motivator dan fasilitator.
Dengan melaksanakan shalat khusyu’ lima kali sehari dengan 17 rakaat, anak belajar dan berlatih membangun nilai demi nilai yang kemudian “disimpan” dalam “system nilai”, yang makin lama makin mengokohkan aqidahnya.
Aqidah yang kokoh atau tinggi nya kecerdasan emosional spiritual merupakan 80 % pondasi keberhasilan anak dalam mengarungi kehidupan.
Kedua, anak belajar dan berlatih mengamalkan semua yang diucapkannya dalam shalat, dalam kehidupan sehari–hari, antara lain untuk tidak berbuat keji dengan sesama temannya dan belajar untuk menjadi anak yang baik yaitu yang banyak manfaatnya bagi orang lain, seperti yang disabdakan rasulullah Muhammad Saw, yang artinya : “Orang yang baik adalah orang yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain”. Dengan kata lain anak belajar berakhlak mulia dan menjadikan rasulullah Muhammad Saw sebagai panutannya.
Kalau anak sejak usia tujuh tahun mulai belajar dan berlatih untuk mengamalkan semua ucapannya dalam shalat dalam kehidupan sehari – hari, bukankah mereka belajar mematuhi perintah tuhannya Allah Swt ?
Bukankah mereka belajar dan berlatih membangun aqidah nya?
Bukankah mereka belajar meningkatkan kecerdasan emosional – spiritual ?
Bukankah mereka belajar dan berlatih menjadi sosok muttaqien ?
Ketiga, kedua hal tersebut merupakan upaya peningkatan kecerdasan emosional – spiritual yang merupakan 80% pendukung keberhasilan anak dalam kehidupannya kelak. Berdasarkan pendapat para pakar pendidikan bahwa kecerdasan Intelektual atau kecakapan berpikir hanya mendukung 20% keberhasilan kehidupan masa depan anak. Dengan kata lain berlatih mendirikan shalat khusyu’ merupakan upaya membangun 80 % pondasi keberhasilan kehidupan anak di masa depan.

Keempat, mendidik anak shalat khusyu’ yang diamalkan dalam kehidupan dalam bentuk akhlak mulia, merupakan upaya pemberdayaan anak generasi Z menjadi abdullah, sesuai perintah Allah Swt [Qs Adz Zariyat (51): 56]. Hal ini merupakan amal shalih para guru yang ulama, sehingga dijanjiikan  Allah Swt untuk mendapatkan pahala yang terus menerus dan terhindar dari azab neraka. Aamiin YRA.

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com